Sebelumnya: “Perempuan” di Club Malam
BONTANG – Kilauan lampu led berwarna merah dan hijau dari bando berbentuk tanduk rusa milik para pemandu karaoke memantulkan bayangan gemerlap lebih ramai dibanding malam-malam biasanya.
Alunan musik koplo dari layar karaoke bercampur gelak tawa dan dentingan seloki yang saling beradu menambah kesan syahdu seisi club malam itu.
Natal terasa sangat meriah di tempat ini. Aroma manis lotion berpadu dengan pahitnya alkohol dan kepulan asap rokok menggantung malas di udara.
Indah terlihat sangat cantik dengan gaun merah menyala yang dikenakannya. Si pria bahagia bisa sama-sama menikmati setiap detik demi detik kebersamaan itu.
Keduanya gugup mesra saat mata saling beradu, sejenak suara musik hilang dari pendengaran mereka.
“Aku mencintaimu, hiduplah bersama ku,” ucap lirih laki-laki itu di telinga kanan Indah, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk memeluk erat si pria.
Indah mengangguk tanda setuju untuk membangun komitmen bersama dan menata hidup lebih baik di masa mendatang, sempurna sudah cinta keduanya.
“Hahaha…” Semua buyar, suara tawa Indah seperti kaca yang pecah.
Menyadarkan Edi (bukan nama sebenarnya si pria) yang masih setengah melamun dari ilusi yang ia ciptakan sendiri.
Wanita itu tidak sedang berada di pelukannya, melainkan dalam pelukan pria lain.
Otak Edi mulai mengulang memori beberapa jam sebelumnya, teringat momen-momen kebersamaan menikmati waktu sore di sebuah cafe hingga malam tiba.
Ia larut dalam ketidakmungkinan yang sudah diketahui sejak awal, perasaan tidak pernah menjadi mata uang.
Namun, setiap senyuman, setiap sentuhan lembut, suapan penuh perhatian sore tadi, membuat Edi terbuai.
Harapan membutakannya, ia tahu risikonya cemburu, sakit hati, malam-malam penuh kecemasan.
Ingatan lain mulai bermunculan dibenaknya. Hangat menyelimuti, sesaat bayangan itu diputar kembali.
“Jika kamu serius, aku juga serius,” kata Edi hati-hati.
Indah tersipu, lalu menjawab, “Jika kamu serius, aku lebih serius. Tapi kalau kamu main-main, aku bisa lebih bermain-main.”
Edi memilih percaya, meski jawaban itu mengisyaratkan sesuatu yang tak mudah ia pahami.
Tetapi kenyataannya, cinta tidak bisa membeli hidup serba terbuka Indah. Di balik senyum manis dan tawa ringannya, ia menyembunyikan kelelahan dari dunia yang mengharuskannya berbagi keintiman dengan banyak orang.
Bagi Indah, gaun merah menyala bukan sekadar pakaian malam Natal, tapi seragam pekerjaannya. Tentu saja, cinta bukan lagi alasan realita kehidupannya.
Malam itu menjadi akhir dan titik balik, mereka harus memendam hasrat saling memiliki dikarenakan tingginya pembatas yang tidak dapat dilampaui.
Terluka, namun masing-masing memilih jalan yang berbeda.
Gundah! Edi belum ikhlas melepaskan, tetapi cinta tidak selalu ditakdirkan berakhir bahagia. Sementara Indah, hatinya berkecamuk dan mulai bertanya pada diri sendiri, sampai kapan ia akan terus mencari cinta dalam bayangan profesinya?
Musik berhenti diputar, fajar mulai menyingsing. Hujan jatuh perlahan, seolah menutupi jejak langkah mereka yang berlawanan arah.
Sudah waktunya untuk pulang. Indah bertemu dengan tamu semalam, Edi berlalu dan tidak pernah lagi kembali.
Tinggalkan Balasan