Kota Bontang kini dihadapkan pada sebuah tantangan serius yang tak bisa diabaikan begitu saja. Partisipasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pemilihan umum, telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini bukan sekadar angka di atas kertas—ini adalah ancaman nyata bagi kualitas demokrasi di kota kita.
Mari kita lihat angka-angka yang mencerminkan tren ini. Pada pemilu 2014, keterwakilan perempuan di DPRD Bontang capai 12 persen masih menyumbang sekitar 12% dari keseluruhan suara, sebuah angka yang meskipun rendah, masih bisa dianggap sebagai representasi yang layak. Namun, tahun 2019, angka itu turun menjadi 8%. Lalu, pada 2024, kita hanya melihat 4% keterwakilan perempuan.
Meskipun keterwakilan perempuan dalam politik diatur sebatas pencalonan, sebab tingkat keterpilihan tetap masyarakat yang menentukan. Tapi angka ini mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah pemilih perempuan maupun calon perempuan yang maju dalam pemilihan.
Ada beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab penurunan ini. Pertama, akses terhadap informasi. Banyak perempuan di Bontang masih kesulitan mendapatkan informasi yang cukup tentang pemilu dan kebijakan publik. Sosialisasi yang ada pun seringkali tidak menjangkau mereka secara efektif, membuat banyak perempuan tidak memahami hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara.
Lalu, ada kendala sosial dan budaya. Di beberapa komunitas, norma-norma sosial masih menempatkan perempuan dalam peran domestik semata. Perempuan lebih sering dianggap cocok mengurus rumah tangga, daripada terlibat dalam politik atau pengambilan keputusan publik. Ini adalah persepsi yang tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga seluruh masyarakat.
Selain itu, kurangnya representasi perempuan dalam politik juga menjadi faktor penting. Tanpa figur perempuan yang bisa dijadikan panutan, banyak perempuan merasa bahwa suara mereka tidak akan berarti apa-apa. Ini menciptakan siklus negatif di mana perempuan enggan terlibat karena tidak melihat peran model yang mewakili mereka.
Penurunan partisipasi perempuan ini membawa dampak yang jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan. Ketika perempuan tidak terwakili dengan baik, kebijakan yang dihasilkan seringkali gagal mengakomodasi kebutuhan dan perspektif perempuan. Ini bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga memperburuk kesenjangan gender yang sudah ada di berbagai sektor.
Lebih jauh lagi, demokrasi yang inklusif dan representatif adalah kunci bagi kemajuan masyarakat. Tanpa partisipasi perempuan, demokrasi di Kota Bontang menjadi kurang inklusif dan kehilangan esensi sejatinya. Ini tidak hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan kota secara keseluruhan. Partisipasi yang timpang bisa memperbesar kesenjangan dalam akses terhadap layanan publik, pendidikan, dan peluang ekonomi.
Namun, harapan masih ada. Kita perlu mengambil langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk membalikkan tren ini. Peningkatan akses informasi harus menjadi prioritas. Informasi yang relevan dan mudah diakses harus sampai ke seluruh lapisan masyarakat, terutama perempuan. Selain itu, program pemberdayaan perempuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik perlu ditingkatkan.
Tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk mengubah norma sosial yang membatasi perempuan. Kampanye yang berkelanjutan diperlukan untuk menantang pandangan tradisional dan mendorong perempuan untuk lebih terlibat dalam ranah publik.
Terakhir, kita harus meningkatkan representasi perempuan dalam politik. Kebijakan afirmatif dan pendampingan teknis bagi perempuan yang ingin mencalonkan diri harus diperkuat. Perempuan harus merasa didukung dan diyakinkan bahwa suara mereka memiliki arti penting.
Partisipasi perempuan dalam politik bukan hanya tentang kesetaraan gender, tetapi juga tentang keadilan dan demokrasi yang inklusif. Kota Bontang harus segera bertindak untuk mengatasi penurunan partisipasi perempuan ini, agar demokrasi kita tetap kuat dan berfungsi untuk semua warga.
Saatnya perempuan Bontang bangkit dan mengambil peran yang lebih besar dalam membangun masa depan kota ini. Demokrasi yang kita inginkan hanya bisa tercapai jika semua warganya terlibat—termasuk perempuan.
Rina megawati S.Kom, M.Kom
(Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM KPU Bontang)
Tinggalkan Balasan