EXPRESI.co, BONTANG – Aktivitas galian C atau pertambangan batuan yang diduga ilegal di Jalan Flores, Kelurahan Kanaan, kembali memicu perbincangan hangat di masyarakat. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Populis Borneo, Ahmad Said, menegaskan bahwa aparat penegak hukum harus segera bertindak terkait praktik ilegal ini.
Menurut Said, ada keraguan mengenai status aktivitas tersebut, apakah hanya sekadar pemerataan lahan atau merupakan praktik pertambangan batuan.
“Yang jadi pertanyaan adalah apakah aktivitas ini sebatas pemerataan atau pematangan lahan, atau apakah ini adalah pertambangan batuan? Pemerintah dan kepolisian harusnya segera melakukan tindakan,” ujarnya, Sabtu (8/3/2025).
Perbedaan mendasar antara kedua jenis aktivitas tersebut, lanjut Said, terletak pada komersialisasi. Jika itu adalah pertambangan batuan, maka ada pengangkutan dan penjualan tanah timbunan, sedangkan pematangan lahan hanya melibatkan aktivitas cut and fill tanpa adanya komersialisasi.
Said juga menekankan bahwa pemetaan lahan atau land clearing memerlukan izin khusus dan hasil timbunannya tidak boleh diperjualbelikan. “Apalagi aktivitas ini terjadi sangat dekat dengan kantor polisi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Said menjelaskan perbedaan terkait izin yang diperlukan. Untuk pematangan lahan, kewenangannya ada pada DPM-PTSP Kota atau Provinsi untuk mengeluarkan izin.
Sementara itu, untuk galian C, kewenangannya ada pada pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM, yang mengeluarkan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 86A ayat 4 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Meskipun, salah satu pemilik lahan dan alat berat telah mengklaim bahwa kegiatan yang dilakukan hanya pemerataan, Namun kata Said, di sepanjang Jalan Soekarno Hatta ada beberapa titik yang diduga melakukan operasi tambang.
Melihat aktivitas yang terjadi, Said pun menduga aktivitas yang dilakukan di lokasi tersebut adalah pertambangan batuan, atau galian C, mengingat ada pengangkutan dan penjualan tanah timbunan.
Jika ini terbukti, maka dapat dipastikan bahwa aktivitas ini merupakan tambang ilegal, mengingat dalam Perda No. 13 Tahun 2019 tentang RTRW Kota Bontang dan Perwali No. 1 Tahun 2024 tentang RDTR Kota Bontang, disebutkan bahwa tidak ada area pertambangan di Kota Bontang.
Sebaliknya, lokasi tersebut masuk dalam area Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang difungsikan untuk resapan air.
Said menegaskan bahwa para pelaku aktivitas ilegal ini dapat dijerat dengan pidana sesuai Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020, perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Dengan merusak lingkungan sekitar, Said mendesak pemerintah dan kepolisian untuk mengambil langkah tegas terhadap aktivitas galian C ilegal tersebut, agar dampaknya tidak semakin meluas. (*/Fn)

Tinggalkan Balasan