EXPRESI.co, BONTANG – Lonjakan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Bontang kembali mengusik nurani publik. Dalam enam bulan terakhir, dari Januari hingga Juni 2025, tercatat 20 kasus kekerasan seksual, sebagian besar menimpa anak perempuan usia belasan tahun.
Anggota DPRD Bontang, Muhammad Yusuf, menyebut ini bukan sekadar catatan kriminal biasa. “Ini sudah darurat moral,” kata politisi PKB itu, Senin, 30 Juni 2025. Ia menyebut korban didominasi anak berusia di bawah 14 tahun, yang kerap tak berdaya melawan para pelaku.
Lebih memilukan, sebagian besar pelaku merupakan orang terdekat korban, ayah tiri, kerabat, atau tetangga. “Dalam satu kasus, korban bahkan hamil akibat perbuatan ayah tirinya. Sang ibu pun baru mengetahui saat anaknya hamil,” kata Yusuf.
Secara rinci, data menunjukkan sembilan kasus persetubuhan, dua kasus pencabulan, empat kekerasan terhadap anak, tiga KDRT, satu perzinahan, dan satu penganiayaan.
Yusuf mendesak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta lembaga sosial lainnya untuk menggencarkan edukasi dan penyuluhan di tingkat keluarga. Ia juga mendorong pelibatan tokoh agama dalam menyebarluaskan nilai moral sebagai benteng awal perlindungan anak.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPRD Bontang Sitti Yara. Legislator yang satu ini menilai, lemahnya edukasi menjadi celah utama maraknya kekerasan seksual terhadap anak. “Kesadaran masyarakat soal bahaya dan dampak pelecehan masih sangat rendah. Anak-anak bahkan takut untuk bicara,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar organisasi pemuda dan mahasiswa di Bontang turut mengambil peran. “ Seperti KNPI atau anak-anak mahasiswa bisa bersinergi dengan sekolah dan dinas terkait untuk menyusun program edukasi pencegahan sejak dini,” ucapnya.
Trauma yang diderita anak korban, menurut dewan perempuan satu-satunya di Bontang ini, tak hanya membekas secara psikologis, tetapi juga dapat mengganggu perkembangan otak dan sosial anak hingga dewasa.
Mengenai sanksi hukum, Yusuf mengkritisi lemahnya jerat hukum terhadap predator anak. “Hukuman maksimal hanya 15 tahun, sementara luka korban bisa seumur hidup. Ini jelas timpang,” katanya.
Meski begitu, ia menegaskan pentingnya tetap tunduk pada hukum yang berlaku sembari mendorong revisi kebijakan untuk perlindungan yang lebih kuat.
“Anak-anak adalah generasi penerus. Kalau mereka tidak terlindungi, kita sedang menggali lubang masa depan,” pungkas Yusuf. (*)

Tinggalkan Balasan