EXPRESI.co – Fenomena politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) semakin mencuri perhatian publik. Di satu sisi, sebagian kalangan melihatnya sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi, di mana rakyat berhak memilih pemimpin. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran terkait dampaknya terhadap demokrasi itu sendiri.
Menurut Patawari, pakar hukum tata negara dan peneliti politik, politik dinasti memang memiliki keuntungan tersendiri. Salah satunya adalah kelanjutan program pembangunan. Pemimpin baru dari keluarga yang sama dengan pendahulunya cenderung dapat melanjutkan visi dan misi tanpa banyak kendala, karena telah akrab dengan birokrasi dan jaringan pemerintahan yang ada.
“Dukungan politik dan logistik yang kuat menjadi modal besar, sehingga lebih siap menghadapi kontestasi dan mengatasi masalah yang ada di lapangan,” katanya, Senin (21/10/2024).
Namun, Patawari juga mengingatkan bahwa politik dinasti membawa dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Ia menyebut ada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan munculnya oligarki ketika kekuasaan terpusat pada satu keluarga. Ini berpotensi memunculkan korupsi dan nepotisme, serta kebijakan lebih mengedepankan kepentingan keluarga daripada kepentingan masyarakat luas.
“Fenomena ini jelas mengancam sistem demokrasi kita,” tegas alumni doktor Universitas Hasanuddin tersebut.
Minimnya kompetisi yang sehat juga menjadi masalah besar. Kandidat lain yang bukan berasal dari dinasti politik kesulitan bersaing dengan figur-figur yang sudah memiliki pengaruh dan popularitas. Menurut pengajar politik hukum itu, hal ini menghambat regenerasi kepemimpinan dan mengurangi kualitas demokrasi, karena masyarakat tidak mendapatkan pilihan yang adil dan terbuka.
Lebih jauh, Patawari menegaskan bahwa politik dinasti menciptakan ketidakadilan sosial dan politik. Masyarakat di luar jaringan dinasti sering merasa tidak memiliki akses setara dalam proses politik, yang dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Politik dinasti juga berisiko menghambat inovasi dan reformasi. Pemimpin yang lebih fokus pada pelestarian kekuasaan keluarga cenderung enggan mengambil risiko untuk melakukan perubahan atau kebijakan yang lebih progresif.
Contoh nyata di Indonesia, seperti keluarga Ratu Atut Chosiyah di Banten dan keterlibatan putra Presiden Jokowi dalam politik Solo, menunjukkan bagaimana dinasti politik dapat memperkuat oligarki dan membatasi ruang bagi calon-calon baru yang berpotensi.
“Kehadiran dinasti politik ini menuai kritik, karena dinilai menciptakan ketergantungan politik dan mengurangi kesempatan bagi calon-calon baru,” ujarnya.
Apalagi, di negara demokrasi, ada kemungkinan satu keluarga menguasai eksekutif dan legislatif, kepala daerah dan pimpinan DPRD memiliki hubungan darah. Patawari bilang, dalam demokrasi hal itu sah-sah saja, namun pada tingkat kinerja tentu akan ada pengaruh dan merugikan masyarakat luas.
“Maka perlu ada sikap mental dan kesadaran bahwa posisi jabatan publik atau birokrasi adalah kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, golongan bahkan keluarga,” terangnya.
Dia jelaskan, politik dinasti, baik antar legislatif dan eksekutif akan rawan terjadi konflik interes yang dapat memicu munculnya sikap koruptif, kolusi dan nepotisme. Katanya, politik dinasti saat ini tidak hanya terbatas pada legislatif, maupun eksekutif. Namun, hampir merambah ke semua sektor yang berkaitan pelayanan publik.
“Jangankan di pemerintahan, nepotisme kita lihat sekarang di partai politik bahkan di sektor swasta. Cenderung penempatan seseorang keluar atau tidak sesuai dengan keahlian dan kemampuannya,” katanya.
Politik dinasti memang sah dalam konteks demokrasi, namun perlu ada kesadaran bahwa jabatan publik harus mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Kecenderungan nepotisme dalam politik dapat mengancam integritas lembaga-lembaga publik, yang seharusnya berfungsi untuk melayani masyarakat secara adil dan profesional.
Penting bagi masyarakat dan pemangku kebijakan untuk berpikir kritis dan berusaha menghindari politik dinasti yang cenderung merugikan demokrasi dan menciptakan ketidakadilan sosial.
Patawari, menyampaikan, perlu menghadirkan regulasi yang lebih ketat dan partisipasi aktif masyarakat untuk mengurangi dampak negatif dari politik dinasti.
“Jika tidak ada langkah konkret untuk membatasi dominasi keluarga dalam politik, demokrasi kita bisa terus melemah,” katanya. (*)
Tinggalkan Balasan