EXPRESI.co, BONTANG – Warga Bontang Lestari mengeluhkan minimnya pelayanan kesehatan. Puskesmas Bontang Lestari, yang menjadi fasilitas kesehatan terdekat, hingga kini hanya mampu melayani rawat jalan selama 24 jam, tanpa menyediakan fasilitas rawat inap.

Ketua Komisi A DPRD Bontang, Heri Keswanto, menyoroti klaim operasional Puskesmas yang disebut berfungsi 24 jam. Ia mengaku menerima laporan masyarakat bahwa layanan kesehatan di sore hingga malam hari sulit diakses.

“Saya ingin mengusulkan pendirian RS Tipe D di Bontang Lestari. Namun, pemerintah beralasan bahwa Puskesmas 24 jam sudah cukup. Kami ingin memperjelas klaim ini,” tegasnya.

Heri Keswanto, yang akrab disapa Herkes, mengungkapkan hasil tinjauan langsung ke lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian informasi dengan laporan yang diterima saat rapat anggaran bersama pemerintah.

“Informasi awal menyebutkan layanan sampai sore, tapi pendaftaran hanya buka pukul 08.00-11.00. Selain itu, tidak ada layanan rawat inap. Ini harus segera diperbaiki,” ujarnya.

Herkes juga menerima keluhan masyarakat bahwa pasien darurat, termasuk korban kecelakaan, sering kali dialihkan ke rumah sakit karena ketiadaan dokter di malam hari.

“Seharusnya UGD beroperasi 24 jam, tapi ini menjadi pertanyaan besar. Pasien kecelakaan yang membutuhkan penanganan cepat justru dirujuk ke RSUD,” kritik politisi Gerindra itu.

Herkes menilai Puskesmas Bontang Lestari, yang berada di dekat kawasan industri, harus memiliki pelayanan yang lebih baik dibandingkan Puskesmas lainnya. Ia menegaskan perlunya peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur.

Sementara itu, Kepala Puskesmas Bontang Lestari, drg. Faradina, mengakui pihaknya hanya mampu memberikan layanan rawat jalan 24 jam. Ia menjelaskan bahwa keterbatasan SDM menjadi hambatan utama.

“Puskesmas Bontang Utara 1 yang tidak beroperasi 24 jam saja memiliki 18 perawat. Sedangkan kami hanya memiliki 10 perawat untuk tiga shift,” jelasnya.

Drg. Faradina juga mengungkapkan bahwa jumlah dokter yang terbatas menjadi tantangan tersendiri. Namun, pihaknya berupaya agar tidak ada kekosongan layanan.

“Kami akan mengevaluasi layanan UGD, terutama terkait keluhan masyarakat terhadap penanganan pasien kecelakaan,” tambahnya.

Selain itu, drg. Faradina mengakui bahwa sejumlah perawat belum memiliki sertifikasi ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sertifikasi ini dinilai penting agar prosedur penanganan pasien kecelakaan kerja sesuai dengan standar kawasan industri.

“Kami akan terus berupaya memperbaiki kekurangan ini agar pelayanan Puskesmas lebih optimal,” tutupnya. (*)