EXPRESI.co, BONTANG – Rumah seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak-anak. Namun bagi Mawar (bukan nama sebenarnya), rumah justru menjadi tempat luka paling kelam. Gadis 13 tahun itu hamil tiga bulan akibat perbuatan bejat ayah tirinya.

Kasus ini mengguncang publik Bontang serta menegaskan betapa rapuhnya sistem perlindungan anak di kota dengan julukan Kota Taman (Tertib, Agamis, Mandiri, Aman, dan Nyaman) ini.

Data dari Polres Bontang menyebut, sejak Januari hingga Juni 2025, terdapat 16 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Tercatat 10 kasus persetubuhan, 2 pencabulan, serta 4 kekerasan terhadap anak.

Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3AKB) DPD KNPI Kota Bontang, Aini, menyebut tren ini sebagai sinyal bahaya bagi masa depan generasi muda. “Kasus seperti ini harus jadi alarm bagi pemerintah untuk lebih serius mengambil langkah konkret,” ujar Aini, Senin, 30 Juni 2025.

Ia menyoroti lemahnya edukasi dan minimnya ruang aman bagi anak-anak, khususnya di lingkungan rumah tanggga. Menurutnya, banyak korban tak mampu bersuara, bahkan kepada ibunya sendiri. “Mawar tidak berani bicara. Ini menunjukkan betapa dalam luka yang mereka pendam,” katanya.

KNPI Bontang, lanjut Aini, mendorong kolaborasi aktif antara organisasi kepemudaan, pemerintah, serta institusi pendidikan dalam membangun kesadaran masyarakat. Edukasi bukan hanya tentang bahaya pelecehan seksual, tapi juga bagaimana menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk bicara dan dilindungi.

Ia juga mengingatkan bahwa pelecehan seksual bukan melulu soal fisik. “Bentuknya bisa verbal, bisa psikis. Dan semuanya bisa meninggalkan trauma mendalam,” ujar Aini. Trauma itu, tegasnya, bisa berdampak pada perkembangan otak anak dan merusak kehidupan sosial mereka hingga dewasa.

Aini juga menegaskan, pelindungan terhadap anak bukan hanya tugas pemerintah. “Semua pihak harus bergerak. Ini soal masa depan kota, bangsa, dan generasi penerus,” tutupnya. (*/Fn)