EXPRESI.co – Video yang viral pada 19 Maret 2022 membuat citra Polres Binjai, Sumatra Utara, tercoreng. Seorang remaja yang sedang asyik menatap monitor di warnet kawasan Bandar Senembah, Binjai Barat, diajak keluar ruangan oleh seorang pria berbaju biru. Di halaman warnet, lelaki berbaju biru memberi remaja itu bungkusan yang belakangan diketahui adalah sabu.

Baru saja barang diserahkan, dua lelaki lain yang berboncengan mengendarai sepeda motor tahu-tahu langsung meringkus remaja berbaju hitam itu. Anehnya, kedua pria itu, belakangan diketahui sebagai anggota Polres Binjai, justru membiarkan pria baju biru pergi dengan santai.

Video proses penangkapan absurd yang terekam CCTV warnet itu segera memicu kemarahan publik. Sebagian warganet bahkan menudingnya sebagai aksi “tukar kepala”. Istilah ini dipakai untuk pelaku kejahatan yang menyerahkan pelaku lain kepada polisi, dengan imbalan dirinya tidak ditangkap atau hukumannya diperingan.

Baik Polres Binjai maupun Polda Sumatra Utara tidak mengonfirmasi apakah penangkapan itu terbukti rekayasa. Namun, gestur terbaru Kapolda Sumut membuat publik meyakini dugaan itu benar. Lewat surat telegram rahasia, yang diumumkan pada 19 April 2022, Kapolda mencopot Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Binjai, AKP Firman Imanuel Perangin angin, dan memutasinya ke Polda Sumut.

Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi menegaskan pencopotan ini memang terkait video personel Polres Binjai yang viral. Hadi mengatakan, Kasat Resnarkoba Polres Binjai dicopot sebagai bentuk tanggung jawabnya atas perbuatan anak buahnya, tanpa mendetailkan apa kesalahan si anak buah.

“Kasatnya harus bertanggung jawab karena lemahnya pengawasan terhadap anggota, sehingga anggota melakukan hal-hal itu. Anggota juga sudah diperiksa dan pendalaman lebih lanjut terkait itu. Kasatnya masih dimintai keterangan,” kata Hadi seperti dikutip CNN Indonesia.

Akhir Maret lalu, Kapolres Binjai sempat membuat pembelaan yang lemah soal polisi yang cuma menangkap satu pelaku, padahal pelaku lainnya jelas melenggang di depan mata. Alasannya saat itu, penangkapan ini adalah hasil laporan warga, dan kata warga, pelakunya cuma satu. Selain itu karena polisinya cuma berdua, mereka enggak bakal bisa nangkap dua pelaku sekaligus.

“Kebetulan mereka [polisi] itu hanya berdua, mereka fokus kepada saudara RN karena informasi yang masuk kepada mereka adalah tempat di warnet dan RN itu sendiri[an],” jelas Ferio, dilansir Kompas.

Ngomong-ngomong soal tukar kepala, ini emang bukan modus baru dalam penanganan kasus narkoba. Misalnya 2017 lalu, dalam kasus narkoba yang disidangkan di Surabaya, pengacara terdakwa yakin kliennya jadi korban tukar kepala oleh bandar narkoba.

Setahun sebelumnya, istilah ini juga muncul ketika Mabes Polri mengakui ada anggotanya yang berbisnis narkoba. Di antara praktiknya, polisi berjualan jasa “tukar kepala”. Pelaku yang tertangkap diminta menyetor uang dan memberi nama pelaku lain, sebagai gantinya ia dibebaskan.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan pada 2012 silam, tukar kepala yang dipraktikkan polisi malah membuat peredaran narkoba makin sulit diberantas.

“Kalau saya melihat sulitnya diberantas narkotika, karena adanya cara-cara tukar kepala, tukar kepala itu kalau di kepolisian ada target-target dalam penangkapan, misalnya menangkap satu bisa memberikan informasi tiga,” ujar Bambang kepada JPNN.

Alasannya, pelaku pemberi informasi jadi bebas bergerak karena sudah menukarkan dirinya dengan “pelaku lain”. Ia juga bisa mengulang strategi tukar kepala itu jika terpaksa tertangkap lagi. “Strategi barter ini kesalahan fatal. Strategi barter ini yang memungkinkan aparat bermain,” pungkas Bambang.