Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bontang kembali menyita perhatian publik. Dengan dalih menegakkan ketertiban, pemerintah setempat menurunkan ratusan aparat untuk membongkar lapak para pedagang kecil di sejumlah titik kota. Namun, keberanian yang sama tak tampak ketika berhadapan dengan pengusaha-pengusaha besar seperti hiburan malam yang melanggar Peraturan Daerah secara terang-terangan.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar, kepada siapa sebenarnya hukum ditegakkan?

Fenomena ini menjadi ironi ketika pemerintah terlihat begitu sigap dan gagah berani terhadap PKL, yang notabene hanya mencari nafkah di ruang-ruang sisa kota, namun justru bungkam saat menghadapi tempat hiburan malam (THM) ilegal yang menjual minuman keras dan menyediakan layanan tak senonoh. Beberapa THM di Bontang beroperasi tanpa izin lengkap, melanggar Perda Nomor 27 Tahun 2002, namun tetap dibiarkan.

Apakah karena pelakunya memiliki kuasa dan perlindungan?

Kami mendapatkan informasi, tidak hanya satu tapi puluhan THM yang beroperasi di Kota Bontang. Pelanggaran mereka bukan hal sepele. Bukan hanya soal administrasi, tapi pelanggaran terhadap norma, aturan, dan moral publik. Namun ketika diminta penindakan, pemerintah justru berdalih menunggu SK. Alasan yang terdengar mengada-ada jika dibandingkan dengan kecepatan mereka menggusur PKL yang tidak bersenjata hukum maupun ekonomi.

Satpol PP, yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan Perda, justru bersembunyi di balik prosedur birokrasi. Pernyataan bahwa mereka “menunggu surat keputusan tim lintas OPD” menjadi alasan pasif yang tidak selaras dengan semangat penegakan hukum. Faktanya, untuk menertibkan PKL, mereka tidak perlu SK hanya instruksi langsung sudah cukup. Ketimpangan inilah yang kami soroti dan kami lawan.

Kondisi ini menciptakan standar ganda yang membahayakan kepercayaan publik terhadap hukum. Ketika rakyat kecil ditindak tegas karena lemah, dan pelanggaran besar dibiarkan karena kuat, maka itu bukan lagi sekadar ketidakadilan, itu adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan sosial. Hukum seharusnya menjadi alat untuk melindungi yang lemah dari kesewenang-wenangan, bukan sebaliknya.

Kami menantang secara terbuka Pemerintah Kota Bontang untuk membuktikan bahwa penegakan hukum tidak tebang pilih. Jika bisa keras kepada PKL, maka harus lebih berani lagi menindak tempat hiburan malam ilegal yang secara jelas melanggar aturan dan mencederai moral publik. Jangan hanya “gagah” saat berhadapan dengan rakyat kecil, tapi “ciut” saat menghadapi pelanggar yang punya kekuatan uang.

Pemerintah juga harus mulai menempuh pendekatan yang solutif terhadap PKL. Penertiban tanpa solusi hanya akan menciptakan pengangguran baru dan memperparah kemiskinan kota. Jangan biarkan kota ini menjadi panggung ketidakadilan yang terus-menerus dipelihara oleh keberpihakan yang salah arah.

Sebagai bagian dari kontrol sosial, kami akan terus bersuara. Bukan karena kami ingin menciptakan kegaduhan, tetapi karena kami percaya bahwa keadilan tidak boleh takut pada kekuasaan, dan hukum tidak boleh tunduk pada uang. Jika pemerintah masih peduli terhadap legitimasi moralnya, sudah saatnya mereka bertindak adil, bukan hanya tegas terhadap yang lemah, tapi juga berani menindak yang kuat. Sebab keadilan itu bukan apa yang tertulis di atas kertas, tetapi bagaimana mengimplementasikan secara tegas!

Oleh: Arif Maldini
Kader Himpunan mahasiswa Islam (HmI) Kota Bontang.