Cancel Culture, Tren Toxic yang Membahayakan Mental

Admin

EXPRESI.co, BONTANG – Akhir-akhir ini, tren cancel culture banyak kita lihat di media sosial, terutama di Twitter, dimana merupakan salah satu platform digital dengan penyebaran informasi yang paling cepat.

Apalagi dengan adanya fitur trending, semua orang bisa tahu apa yang sedang menjadi perbincangan hangat saat itu. Semakin hari, tingkat sensitivitas masyarakat semakin tinggi dan meluas. Entah itu karena kesadaran sosial atau hanya sekedar ikut-ikutan saja.

Banyak hal yang tadinya dianggap hal yang biasa, seiring berjalannya waktu, berubah menjadi suatu masalah yang besar yang bahkan dapat mengakhiri karier seseorang dan mengganggu kesehatan jiwa.

Cancel culture pada dasarnya adalah suatu bentuk boikot terhadap seseorang atau sesuatu. Sebagian besar, cancel culture ini terjadi pada public figure atau sebuah brand karena dianggap telah membuat kesalahan atau melakukan sesuatu yang dipandang kontroversial.

Menurut Dictionary.com, cancel culture mengacu pada praktik untuk menarik dukungan terhadap tokoh masyarakat maupun perusahaan setelah mereka mengatakan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung.

Umumnya, hal-hal yang membuat seseorang atau sebuah brand itu di’cancel’ adalah mereka yang menyenggol isu SARA atau sesuatu yang offensive.

Contohnya, Penulis di balik serial Harry Potter, J.K. Rowling, sempat membuat heboh publik ketika essainya tentang seks dan gender pertama kali dirilis pada bulan Juni 2020 lalu.

Esai tersebut membuat pernyataan kontroversial tentang hak transgender dan klasifikasi transpuan sebagai perempuan. Sehingga, publik saat itu mengecamnya dan menarik dukungan kepada penulis tersebut karena dianggap menyebarkan transphobia.

Istilah ‘meng-cancel’ seseorang pertama kali muncul dalam film yang berjudul ‘New Jack City’ tahun 1991. Dalam film tersebut terdapat suatu adegan yang berisi dialog “Cancel that b*tch. I’ll buy another one.”. Istilah dan adegan tersebut juga ditemukan pada lirik dari salah satu karya rapper Lil Wayne yang berjudul ‘Single’ pada 2010.

Kemudian, pada 2014, istilah ‘cancel’ pun mulai sering digunakan setelah salah satu episode reality show VH1 berjudul ‘Love and Hip-Hop: New York’.

Acara tersebut menampilkan adegan salah satu bintangnya Cisco Rosado berteriak pada gadis incarannya, “You’re canceled,” setelah mereka bertengkar.

Nah, sejak saat itu, istilah ‘cancel’ ini kemudian menjadi kian populer sebagai bahan candaan yang digunakan oleh kaum kulit hitam di Twitter.

Namun, pada akhirnya menjadi serius ketika istilah ini ditujukan pada public figure yang dianggap kontroversial dan problematik.

Semakin hari, batasan selalu berevolusi. Pun dengan orang-orang yang semakin mempunyai kesadaran tentang fenomena kultural saat ini. Dengan kesadaran tersebut, semakin lama semakin membuat orang takut untuk mengutarakan opini yang pastinya gak selalu sesuai dengan standar masyarakat. Adanya perbedaan pendapat yang dianggap ga sesuai gak jarang membuat seseorang di-’cancel’ dan berujung dengan intimidasi dan bullying.

Hal ini bisa membuat seseorang merasa dikucilkan, terisolasi secara sosial, dan kesepian, hingga berujung mengganggu kesehatan mental seperti depresi.

Dilansir dari The New York Times, Barack Obama menyebutkan bahwa cancel culture bukanlah suatu bentuk aktivisme, namun hanyalah budaya penghakiman kolektif yang bertujuan untuk ‘melempari orang dengan batu’. Nyatanya, budaya canceling memang seringkali tidak mengindahkan kompleksitas dari situasi tertentu.

Terkadang, masyarakat kerap mengungkit kesalahan atau ucapan buruk dari jejak digital seseorang di masa lampau dan gak mengacuhkan asas praduga tak bersalah.

Print Friendly, PDF & Email

Also Read

Tags

Ads - Before Footer