Walhi Singgung Kebakaran Hutan-Batu bara Soal Perubahan Iklim

EXPRESI.co – Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan ada beberapa sektor yang menjadi penyumbang besar terhadap perubahan iklim di Indonesia mulai dari kebakaran hutan, tambang batubara, hingga transportasi.

“Kalau kita lihat dari sektor kehutanan sudah jelas tidak boleh lagi ada kebakaran hutan dan gambut, karena itu berkontribusi besar dalam konteks emisi gas rumah kaca,” ujar Yuyun, Kamis (22/4/2021).

Lebih lanjut ia menjelaskan, penting untuk mempercepat transformasi di sektor transportasi yang saat ini mayoritas masih menggunakan bahan bakar minyak.

Selain itu, Yuyun mengatakan penggunaan pembangkit listrik yang bersumber dari bahan baku fosil seperti batubara juga memiliki dampak perubahan iklim.

Ia menilai batu bara salah satu sumber energi kotor yang mengakibatkan gas rumah kaca, baik pada proses pertambanganya maupun dari proses pembakaran batubara untuk energi.

“Kalau kita lihat dari subsektor mana yang paling besar (menyumbang perubahan iklim) di sektor energi pembangkit. Karena pembangkit kita masih berbasis batu bara dan energi fosil lain, misalnya minyak dan diesel,” kata dia.

Dari proses penggalian dan proses pembukaan lahan, kata Yuyun, banyak berada di kawasan hutan, dari proses deforestasinya maupun dari proses produksi pertambanganya.

Lebih lanjut kata Yuyun sektor penyumbang paling besar lainnya dalam perubahan iklim yakni industri dan perkebunan berskala besar. Kedua sektor ini dapat merusak hutan dan mempengaruhi biodiversitas alam.

Selain itu, kata Yuyun belum lagi dihitung dari proses pengiriman atau pendistribusian batubara. Ia menilai pengiriman batubara dari pulau Kalimantan ke pulau Jawa juga menimbulkan emisi gas buang yang menyumbang perubahan iklim.

Lebih lanjut ia berharap pemerintah tidak lagi memberikan izin kepada tambang batubara maupun eksplorasi gas dan minyak bumi untuk membuka kembali peluang pertambangan.

“Karena faktualnya krisis iklim ini sedang terjadi dan harus ada kebijakan yang bukan business as usual. Bukan kebijakan yang biasa aja, harusnya ada kebijakan yang lebih progresif dan lebih cepat.

Yuyun menjelaskan dampak dari perubahan iklim menurut panel ahli antarpemerintah di tahun 2018 menyatakan, jika melewati ambang batas suhu bumi 1,5 derajat celcius, akibatnya akan berdampak luar biasa dan tidak dapat dipulihkan.

Ekosistem yang akan berdampak dari adanya perubahan iklim yakni kehidupan di laut. Yuyun menilai, jika terjadi pengasaman air laut dan naiknya suhu air, maka dapat menyebabkan ikan mati, dan nelayan tidak lagi mendapatkan ikan yang banyak.

Perubahan iklim berdampak pada terjadinya intensitas cuaca ekstrem yang kian sering terjadi. Menurut Yuyun, salah satu bukti nyata yakni adanya fenomena siklon yang tiba-tiba terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Intensitas cuaca ekstrem makin sering terjadi, NTT yang selama ini lama sekali mereka tidak mengalami siklon, tiba-tiba mereka dihadapkan dengan siklon dan pemerintah pusat dan daerah ga siap,” ujarnya.

Menurutnya harus ada peringatan dini dan edukasi dari pemerintah kepada masyarakat agar bersiap akan adanya ancaman bahaya dari perubahan iklim.

Lebih lanjut ia menyarankan untuk mendeklarasikan darurat iklim kepada seluruh negara, agar melihat banyaknya keanehan fenomena alam sebagai kondisi yang ‘penting’.

“Semua negara seharusnya mendeklarasikan darurat iklim supaya ini dilihat sebagai kondisi yang penting,” pungkasnya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles