Menag Tak Berangkatkan Jemaah Haji Tahun ini, Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib PIHK

Admin

EXPRESI.co, BONTANG – Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan kembali tak mengirim jemaah pada ibadah haji 2021. Penundaan ini menjadi yang kedua setelah tahun lalu pemerintah juga tak mengirim jemaah karena pandemi virus corona (Covid-19).

Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menag RI Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi.

“Menetapkan pembatalan keberangkatan jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji 1442 hijriah atau 2021 masehi bagi WNI yang menggunakan kuota haji Indonesia dan kuota haji lainnya,” kata Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, Kamis (3/6/2021).

Pembatalan keberangkatan jemaah haji tersebut berdampak pada perusahaan penyelengara ibadah umroh dan haji. Ketua Umum Serikat Penyelenggara Umroh dan Haji (SAPUHI) Syam Resfiadi meminta pemerintah memperhatikan nasib Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau biro haji dan umroh usai keputusan tidak mengirim jemaah pada ibadah haji 2021.

“Ini yang tadi saya bisikkan ke Pak Sekjen Nizar Ali (Kementerian Agama) agar kami diperhatikan, bagaimana pemerintah melihat kami apabila tahun ini kami juga gagal berangkat, kami betul-betul tidak punya pendapatan haji, berarti tahun depan, itu pun masih setahun 12 bulan lagi,” ujarnya mengutip CNNIndoenesia.com, Kamis (3/6/2021).

Ia mengungkapkan biro haji dan umroh tidak mendapatkan pemasukan sama sekali selama dua musim. Di sisi lain, mereka tetap harus mengeluarkan biaya operasional seperti gaji pegawai, tarif listrik, sewa kantor, dan sebagainya. Kondisi ini membuat banyak biro haji dan umroh yang merugi lantaran arus kas menjadi minus hingga harus menutup usahanya atau menjualnya.

“Pendapatan tidak ada otomatis rugi dong perusahaan, akhirnya akan gerogoti perusahaan. Dana perusahaan yang tersedia terbatas mungkin kemampuan cash flow hanya tiga bulan operasional atau setengah setahun tiba-tiba sudah setahun lebih, pasti sudah minus,” tuturnya.

Menurutnya, bantuan yang dibutuhkan oleh para penyelenggara biro haji dan umroh ini adalah berupa pinjaman lunak. Dana tersebut dibutuhkan untuk modal kerja apabila tahun depan pemerintah sudah membuka kembali ibadah haji dan umroh. Pemerintah menjadi satu satunya harapan lantaran mereka tidak mungkin mendapatkan pembiayaan dari perbankan.

“Pinjaman lunak yang selama ini PIHK bisa dapat dari BPKH dengan jaminan apa segala macam silahkan, karena kami butuh itu. Kalau ngomong sama perbankan tidak akan ngasih karena kami termasuk perusahaan yang kolaps kan,” tuturnya.

Saat ini, ia belum memiliki data berapa banyak perusahaan biro haji dan umroh yang tutup akibat pandemi. Ia menilai pemerintah juga perlu melakukan pendataan, survei, dan akreditasi ulang untuk mengetahui jumlah biro haji dan umroh yang masih bisa bertahan maupun kolaps selama pandemi.

Namun, ia menilai putusan pemerintah menutup ibadah haji tahun ini sebagai keputusan yang tepat meskipun berat bagi biro haji dan umroh. Pasalnya, meskipun izin diberikan, namun waktu yang tersisa untuk memenuhi semua persyaratan penyelenggaraan ibadah haji cenderung terbatas.

“Itu keputusan yang menurut kami juga selaku penyelenggara swasta, keputusan yang bijak. Walaupun itu perlu pertimbangan secara politis dan segala macam, pemerintah agak lambat mengambil keputusan ini, yang kami harapkan seharusnya sebelum Ramadan kemarin, seharusnya sudah ada komitmen dari kedua negara, tapi masih selalu menunggu menunggu akibatnya kami semakin mepet waktunya,” ucapnya.

Selain itu, berdasarkan proyeksi perhitungannya biaya ibadah haji berpotensi naik apabila dipaksakan terselenggara tahun ini. Pasalnya, ia memperkirakan kuota untuk masing-masing biro haji dan umroh hanya minimal lima jamaah atau maksimal 20 jamaah.

Sebab, pemerintah Arab Saudi memberikan kuota jamaah dari luar negeri sebanyak 60 ribu orang. Dengan jumlah itu, ia memperkirakan Indonesia mendapatkan jatah sebanyak 15 ribu jamaah.

Dari kuota untuk Indonesia itu, ia memperkirakan PIHK hanya mendapatkan kuota 1.000 jamaah atau sekitar 8 persen dari total kuota yang diterima Indonesia.

“1000 orang dibagi lagi ke 230 PIKH yang aktif dan ada jamaahnya, jadi maksimal 20 orang minimal lima orang jadi tidak efektif,” tuturnya.

Belum lagi, ada biaya yang timbul dari implementasi protokol kesehatan. Misalnya, pembatasan kapasitas bus hanya 20 orang, kapasitas hotel berkurang dari empat orang menjadi dua orang, karantina di Indonesia dan Arab Saudi, vaksin tambahan di luar vaksin covid-19, dan sebagainya.

“Intinya dengan jumlah yang sedikit itu akan membuat biaya menjadi lebih tinggi karena protokol kesehatan,” tuturnya. (**)

Editor : Bagoez Ankara

Print Friendly, PDF & Email

Also Read

Tags

Ads - Before Footer