Opini
Oleh: Andi Muhammad Awaluddin Alhaq
Hari ini, DPR RI secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang TNI, meskipun gelombang penolakan dari masyarakat sipil begitu besar. Keputusan ini mengundang banyak pertanyaan fundamental terkait masa depan supremasi sipil dan keseimbangan demokrasi di Indonesia. Dalam catatan tahun 2023, terdapat 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil.
Dengan adanya perubahan regulasi ini, angka tersebut berpotensi meningkat pesat. Ini bukan lagi soal Dwi Fungsi ABRI sebagaimana yang pernah diterapkan di era Orde Baru, tetapi kini kita menghadapi realitas baru: Multifungsi ABRI.
Sebagai mahasiswa Hukum, saya, Andi Muhammad Awaluddin Alhaq, melihat bahwa revisi ini memberikan implikasi serius terhadap sistem ketatanegaraan kita. Pasal 47 ayat (2) dari revisi ini menyatakan bahwa prajurit TNI dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian mereka, sesuai dengan kebijakan Presiden. Frasa “sesuai dengan kebijakan Presiden” membuka ruang interpretasi yang sangat luas dan berpotensi disalahgunakan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip utama dalam negara hukum, yaitu supremasi hukum dan supremasi sipil.
1. Mengancam Supremasi Sipil dalam Negara Demokrasi
Dalam prinsip ‘demokrasi konstitusional’, pemerintahan sipil harus menjadi aktor utama dalam pengelolaan negara. Prinsip ini juga sejalan dengan adagium “Salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Keselamatan di sini bukan hanya dalam arti keamanan militer, tetapi juga keberlangsungan demokrasi yang sehat dan terhindar dari militerisasi pemerintahan.
Kembalinya personel TNI aktif dalam jabatan sipil merupakan langkah mundur yang bertentangan dengan reformasi TNI yang telah diperjuangkan pasca-Orde Baru. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya sudah tegas membatasi peran TNI agar tidak masuk ke ranah sipil. Namun, dengan revisi ini, kita justru kembali membuka celah bagi militer untuk kembali bercokol dalam struktur pemerintahan sipil.
2. Melanggar Prinsip Netralitas dan Profesionalisme TNI
Salah satu prinsip penting dalam hukum tata negara adalah “lex superior derogat legi inferiori”, yang berarti hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Dalam konteks ini, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi telah mengamanatkan bahwa TNI adalah alat pertahanan negara, bukan instrumen politik atau birokrasi pemerintahan.
Revisi ini juga bertentangan dengan prinsip professional armed forces, di mana TNI seharusnya fokus pada pertahanan negara tanpa terlibat dalam jabatan sipil. Konsekuensi dari pelanggaran prinsip ini adalah hilangnya independensi TNI sebagai alat pertahanan negara dan meningkatnya risiko politisasi di dalam tubuh militer.
3. Implikasi ke Depan: Militerisasi Birokrasi dan Hilangnya Akses Masyarakat Sipil
Dengan legalisasi keterlibatan TNI dalam jabatan sipil, dampak yang paling nyata adalah semakin sempitnya peluang bagi masyarakat sipil untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan. Profesionalisme birokrasi yang seharusnya dijalankan berdasarkan meritokrasi berisiko terdistorsi oleh kepentingan militer. Ini jelas bertentangan dengan asas good governance, di mana pemerintahan harus dijalankan secara transparan, akuntabel, dan berbasis pada keahlian sipil.
Lebih jauh, revisi ini membuka ruang bagi penguatan budaya “military mindset” dalam birokrasi, di mana pendekatan hierarkis dan instruksi satu arah bisa menggantikan prinsip-prinsip demokratis dalam pengelolaan pemerintahan. Ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan, karena dapat mereduksi fungsi lembaga-lembaga negara yang seharusnya bekerja dalam kerangka demokrasi deliberatif.
4. Langkah yang Harus Ditempuh
Sebagai negara hukum, kita harus kembali pada prinsip “Rechtstaat”, bukan “Machtstaat”. Negara hukum mengutamakan supremasi hukum dan demokrasi, bukan dominasi militer dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus segera diambil:
1. Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Revisi Undang-Undang TNI ini dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip supremasi sipil yang dijamin dalam UUD 1945.
2. Penguatan Peran Sipil dalam Pengawasan Militer
Harus ada kontrol lebih ketat dari DPR dan masyarakat sipil dalam mengawasi implementasi kebijakan ini agar tidak disalahgunakan.
3. Memperkuat Meritokrasi dalam Birokrasi
Semua jabatan sipil harus diisi oleh mereka yang memiliki latar belakang dan keahlian di bidangnya, bukan berdasarkan latar belakang militer semata.
Kesimpulan
Dengan disahkannya revisi Undang-Undang TNI ini, kita sedang menghadapi ancaman serius terhadap demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil berpotensi besar menciptakan otoritarianisme terselubung. Demokrasi yang sehat tidak bisa berjalan jika militer memiliki akses luas ke dalam pemerintahan sipil.
Oleh karena itu, saya menegaskan bahwa kebijakan ini harus ditinjau ulang, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum, demokrasi konstitusional, dan supremasi sipil. Indonesia harus tetap menjadi negara yang menjunjung tinggi hukum, bukan kembali ke masa lalu di mana militer mendominasi berbagai aspek kehidupan sipil. Kita tidak boleh membiarkan sejarah kelam berulang dalam wajah yang baru.

Tinggalkan Balasan