EXPRESI.co – Nitrogen sangat penting bagi kehidupan di muka bumi. 78 persen udara yang kita hirup sehari-hari berisi nitrogen. Ini juga merupakan unsur utama protein penyusun, dan terkandung dalam pupuk yang akan menghasilkan sumber makanan bagi makhluk hidup.

Namun, para ilmuwan telah memperhatikan penurunan kadar nitrogen yang mengkhawatirkan selama beberapa tahun terakhir. Berdasarkan ringkasan yang terbit di jurnal Science, fenomena ini disebabkan oleh perubahan iklim akibat ulah manusia dan mungkin memiliki “konsekuensi yang luas”.

Peneliti senior dipelopori Andrew Elmore, profesor ekologi lanskap di prodi Ilmu Lingkungan Universitas Maryland dan National Social-Environmental Synthesis Center (SESYNC), mengumpulkan banyak bukti yang menunjukkan terjadinya kekurangan nitrogen di seluruh dunia dan potensinya.

Rachel Mason sebagai penulis utama makalah tersebut menyebut, tren ini sudah lama menjadi perhatian di berbagai kalangan ilmuwan. “Kami telah melihat buktinya di berbagai eksperimen dan bidang ilmiah.”

Sayangnya, kesadaran akan menurunnya ketersediaan nitrogen dibayangi oleh upaya mengatasi masalah yang berlawanan: polusi nitrogen antropogenik yang berlebihan. Jumlah nitrogen yang dihasilkan melalui aktivitas industri dan berlipat ganda, dan karenanya dapat menyebabkan masalah lingkungan, seperti zona mati (kawasan yang kekurangan kadar oksigen), pertumbuhan alga berbahaya dan mengurangi keanekaragaman hayati.

Sebagian besar upaya mitigasi yang dilakukan selama ini berfokus pada pengurangan jumlah nitrogen, sedangkan makalah terbaru bertujuan meningkatkan kesadaran mengurangi pasokan nitrogen yang berperan penting.

Ada banyak pertanyaan seputar tren terbalik ini, tapi yang pasti masalahnya terkait dengan ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil. Aktivitas manusia meningkatkan gas rumah kaca, yang dapat meningkatkan kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer hingga titik tertinggi dalam jutaan tahun.

Hasilnya, taman menyerap 50 persen lebih banyak karbon dioksida daripada 150 tahun yang lalu. CO2 merupakan makanan bagi tanaman, sehingga kondisi baru ini tumbuh lebih cepat. Namun, eksperimen dan studi lapangan menunjukkan, ketersediaan nitrogen selamanya dapat mengikuti perkembangan ini. Pada akhirnya, nitrogen menjadi lebih encer di dalam tanaman—gangguan yang memiliki efek riak di seluruh ekosistem.

“Kami menambahkan karbon ke ekosistem, dan itu bisa menjadi pupuk alam,” terang Mason. “Tanaman menyerap karbon dan lebih banyak berfotosintesis. Akan tetapi, selain di beberapa daerah yang dimanfaatkan untuk sektor industri dan pertanian, kami tidak menambahkan jumlah nitrogen yang sama, sehingga menyebabkan keseimbangan antara karbon dan nitrogen.”

“Kami senang tanaman menyerap CO2 yang kami dapatkan. Ini sebagian besar emisinya dan diharapkan sedikit dianggap perubahan iklim,” lanjutnya. “Tapi tanaman memerlukan nitrogen agar bisa lebih sering berfotosintesis akibat emisi CO2 ini. Tanpa nitrogen, tanaman tidak akan bisa melakukannya, dan itu berarti ada yang tidak beres dengan semua perhitungan kami terkait emisi CO2.”

Keterbatasan ini menghambat aliran nitrogen normal, sehingga ketersediaannya bagi seluruh makhluk hidup yang membutuhkannya. Namun, masalahnya tidak terbatas pada rasio nitrogen dan CO2 yang tidak tepat. Kebakaran hutan yang terjadi akibat ulah manusia juga bisa melenyapkan nitrogen dari ekosistem. Makalah ini mengutip penelitian tahun 2017 yang menemukan, kebakaran yang sering menghanguskan sabana dan hutan berdaun lebar menguras hampir 40 persen nitrogen berbasis tanah selama enam dekade.

Belum diketahui efek makro dari semua faktor ini, tapi mengusulkan tanaman yang kekurangan nitrogen tidak dapat tumbuh dengan optimal. Oleh karenanya, tidak dapat memberikan asupan makanan yang dibutuhkan makhluk hidup, seperti serangga dan herbivora. Pergeseran ini bisa meningkatkan ketidakstabilan dalam ekosistem.

Kekurangan nitrogen juga dapat menurunkan kesejahteraan manusia. Misalnya, “konsentrasi protein yang lebih rendah dalam makanan hewan ternak dapat memengaruhi kelompok masyarakat yang tidak mampu memberi pakan tambahan bagi hewan ternak,” menurut penelitian tersebut. Ini menjadi contoh lain tentang sosial yang merupakan perubahan iklim, serta efeknya yang tidak seimbang.

“Ini bisa merugikan mata pencaharian utama ternak yang hewannya bukan termasuk untuk tumbuh lebih cepat, atau dapat tumbuh dengan asupanan berprotein rendah,” tutur Mason.

Tindakan terbaik memang dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, tapi kerja terbaru agar dilakukan lebih terarah untuk memahami berbagai masalah di seluruh dunia.

“Kami telah mendapat gambaran besar tentang apa yang sedang terjadi, tapi kami juga menjelaskan banyak ketidakpastian dan area-area yang perlu diteliti lebih dalam,” ujar Mason.

“Ini adalah contoh tindakan manusia mengganggu sistem lain, dan bagaimana tanggapannya dengan cara yang sangat kompleks dan berlawanan dengan intuisi,” simpulnya.