EXPRESI.co – Sebagian besar sekolah di Jepang mengatur penampilan dan perilaku murid di dalam kelas. Rambut harus hitam dan warna pakaian dalam harus putih hanyalah sedikit contoh dari sekian banyaknya peraturan yang wajib dipatuhi. Pelajar perempuan bahkan dilarang menguncir rambut karena dapat “mengundang gairah” lawan jenis.
Dikenal sebagai buraku kōsoku, aturan-aturan absurd ini dinilai membatasi kebebasan, dan telah memicu berbagai reaksi penolakan baik dari kalangan orang tua maupun pelajar. Desakan demi desakan terus disuarakan, hingga akhirnya dewan pendidikan Tokyo mengambil keputusan mencabut peraturan tersebut.
Mulai jumat ini, 200 SMA di seluruh ibu kota akan menyingkirkan lima aturan kontroversial, termasuk aturan warna rambut dan pakaian dalam. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengakhiri peraturan yang mengekang kebebasan ekspresi pelajar.
“Saya senang peraturannya dicabut,” tutur Chise Iida, yang baru saja lulus dari Tokyo Metropolitan Kokusai High School.
Iida menceritakan betapa menyebalkan peraturan tersebut. “Panjang rok sudah diatur oleh sekolah, dan tidak boleh dilipat. Siswi akan diberi peringatan jika panjang rok di atas lutut,” ungkapnya.
Sekolah-sekolah menengah di Jepang juga dilarang menggunakan bahasa ambigu yang secara tidak langsung mengatur penampilan dan perilaku murid.
Tak hanya itu saja, para pelajar kini bisa memiliki gaya rambut yang lebih beragam, salah satunya two-block haircut—rambut yang dicukur pendek di sisi samping dan belakang kepala, dengan bagian depan dibiarkan panjang.
Meski sudah lama menuai kontroversi, buraku kōsoku semakin menjadi perhatian nasional setelah seorang siswi di prefektur Osaka menuntut sekolahnya pada 2017.
Perempuan itu berulang kali diperintahkan mengecat rambut dengan warna hitam karena rambut aslinya berwarna cokelat. Dia awalnya mematuhi peraturan, tapi lama-lama menjadi masa bodoh. Sebagai hukuman, sekolah mengeluarkan mejanya dari kelas, menghapus namanya dari daftar hadir dan memeriksa akar rambutnya secara paksa.
Putusan pengadilan menetapkan pemerintah setempat wajib membayar ganti rugi sebesar $3.100 (Rp44 juta) padanya Februari lalu, tapi menyatakan sekolah berhak memberlakukan peraturan tersebut.
Berbagai gerakan lahir guna menuntut lembaga pendidikan Jepang untuk mempertimbangkan kembali peraturan-peraturan tersebut. Buraku kōsoku muncul sebagai upaya pencegahan aksi perundungan di sekolah, tapi pada akhirnya aturan seragam ini malah mempersulit pelajar.
Organisasi nirlaba, seperti “Stop Ijime! Navi” atau “Setop Pedoman yang Mengganggu”, mulai mengumpulkan informasi sekolah-sekolah yang masih memberlakukan larangan tersebut. Hasil temuannya lalu diajukan kepada dewan pendidikan prefektur dan kota sebagai bahan pertimbangan.
Keputusan dewan pendidikan Tokyo dibuat menyusul temuan tahun lalu, bahwa 216 dari 240 lembaga pendidikan di ibu kota masih menerapkan buraku kōsoku. Anggota dewan lalu memerintahkan sekolah-sekolah untuk meninjau ulang peraturan mereka.
Sekolah menggelar diskusi antara anggota OSIS dan guru untuk membahas peraturan mana saja yang harus dihapus. Semua sekolah negeri di metropolitan Tokyo sepakat untuk menghapus lima peraturan sekitar Desember lalu.
Namun, ada satu peraturan yang dipertahankan, yakni membuktikan warna dan model alami rambut murid bukan hitam dan lurus. Entah apa alasan dewan pendidikan Tokyo tidak menghapus aturan itu, tapi ada dugaan pihak sekolah khawatir murid-murid akan bergaya serampangan.
“Salah satu cara termudah mengendalikan perilaku murid yaitu dengan mengatur rambut mereka,” kata Yuji Sunaga, wakil presiden Stop Ijime! Navi. “Saya rasa guru khawatir […] mereka akan kehilangan kendali jika pedomannya disingkirkan.”
Tokyo merupakan kota dengan sekolah menengah terbanyak di Jepang, tapi prefektur lain justru lebih terdepan dalam menyingkirkan peraturan absurd.
Pada 2019, prefektur Gifu berencana, mulai tahun berikutnya, buraku kōsoku akan dihapus dari seluruh peraturan sekolah menengah. Sementara itu, prefektur Saga di Jepang selatan telah melarang aturan warna pakaian dalam sejak Maret lalu.
Tinggalkan Balasan