EXPRESI.co, BONTANG – Sebelum memutuskan ganja sebagai golongan narkotika dalam undnang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, DPR minta agar terlebih dahulu dilakukan penelitian mengenai manfaat tanaman ganja bagi kesehatan.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan penentuan kebijakan harus didasarkan pada metode ilmia dengan berbagi tahapan. Karena persoalan narkotika merupakan maslah transnasional, sehingga ia meminta agar pengkajiannya tidak hanya mengutamakan aspek hukum, tapi juga melihat aspek kesehatan.
Dia mengungkapakn, hasil dari penelitian itu nantinya akan ditemukan kebenaran dan pemanfaatan dari narkotika tersebut secara lebih lanjut serta perlu pula dilakukan pengujian untuk kepentingan praktis.
“Penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi kesehatan guna pembangunan kemajuan bidang kesehatan,” ujar Taufik dalam sidang mendengar keterangan DPR dan Pemerintah di Ruang Sidang Pleno MK secara daring, Selasa (10/8/2021).
Taufik mengingatkan setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri dalam memutuskan suatu pelegalisasian terhadap ganja atau minyak ganja (cannabis oil) untuk pelayanan kesehatan yang termasuk dalam golongan narkotika. Sehingga tidak dapat disamakan satu negara dengan negara lainnya.
Sementara, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengatakan tanaman ganja di Indonesia saat ini masih banyak yang bersifat merugikan daripada mendatangkan manfaat.
Diakuinya bahwa kasus sitaan ganja masih tinggi karena banyak disalahgunakan untuk rekreasi atau penggunaan yang bersifat rekreasional.
Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.Sehingga, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini.
“Di Amerika Serikat salah satu kandungan ganja yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex. Tetapi, di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya,” kata Arianti.
Sejumlah pihak mengajukan uji materiil UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu pemohon, yakni Dwi Pertiwi sebagai salah seorang ibu terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam.
Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, dia menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika.
Dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini juga menilai aturan itu menghalangi anaknya untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup.
Pemohon lain dari kalangan LSM menyebut Pasal 7 UU Narkotika mengatakan narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 30 Agustus 2021. Agendanya mendengarkan keterangan dari tiga ahli yang dihadirkan para pemohon.
Tinggalkan Balasan