EXPRESI.co, KUTAI TIMUR – Sengketa tapal batas tak hanya menghantui hubungan antara Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang. Di Provinsi Kalimantan Timur, setidaknya ada enam pasangan daerah lain yang juga masih terlibat perselisihan batas wilayah. Kondisi ini dinilai Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud, perlu segera mendapat penyelesaian serius agar tidak berlarut-larut dan berdampak negatif terhadap masyarakat.
Enam sengketa batas wilayah itu meliputi: Kutai Timur dengan Berau, Kutai Kartanegara dengan Kutai Barat, Mahakam Ulu dengan Kutai Barat, Penajam Paser Utara dengan Kutai Kartanegara, Paser dengan Penajam Paser Utara, serta Kutai Timur dengan Kota Bontang.
Persoalan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sebagian bahkan berakar dari perbedaan interpretasi dokumen dan peta administrasi sejak era pembentukan daerah otonom baru.
“Ini tentang hajat hidup orang banyak. Pelayanan publik tidak boleh terhenti. Jangan sampai kebutuhan dasar masyarakat terabaikan,” kata Harum saat kunjungan kerja ke Dusun Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur, Senin, 11 Agustus 2025 lalu.
Gubernur Kaltim mengingatkan bahwa perbedaan persepsi batas wilayah tidak boleh mengorbankan hak masyarakat. Perselisihan administratif, kata dia, kerap memunculkan masalah konkret di lapangan. Mulai dari tumpang-tindih pelayanan kesehatan, status sekolah yang membingungkan, hingga keterlambatan pembangunan infrastruktur.
“Wajib diperhatikan sarana dan fasilitas pendidikannya, kesehatannya. Bagaimana Puskesmas yang ada, sekolah-sekolahnya harus memenuhi standar,” ujarnya.
Ia mencontohkan, di beberapa wilayah sengketa, fasilitas kesehatan seperti Puskesmas berada di area yang diperebutkan. Hal ini memicu tarik-menarik kewenangan anggaran antara dua pemerintah daerah. Akibatnya, renovasi dan pengadaan fasilitas kerap tertunda.
Tak hanya itu, pembangunan jalan lingkungan, pemasangan listrik dari PLN, hingga distribusi air bersih dari PDAM juga kerap terbengkalai. “Keamanan, ketertiban, dan kenyamanan warga harus terjamin. Dan jangan ada diskriminasi,” tegas Harum.
Sebagian besar sengketa batas wilayah di Kaltim disebabkan oleh perbedaan tafsir atas dokumen hukum lama, seperti Undang-Undang pembentukan kabupaten/kota dan keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas.
Gubernur Kaltim menegaskan, pemerintah provinsi akan memfasilitasi penyelesaian seluruh sengketa tersebut bersama pemerintah kabupaten/kota dan kementerian terkait. Prinsipnya, semua proses harus mengedepankan kepentingan warga.
“Prioritas utama pemerintah adalah memastikan setiap warga terlindungi kehidupan sosialnya, termasuk dokumen administrasi kependudukan,” katanya.
Rudy juga menyoroti pentingnya menjaga roda perekonomian tetap berputar di wilayah sengketa. “Lapangan kerja dan peluang usaha warga setempat tetap menjadi perhatian serius. Jangan sampai sengketa batas menghambat investasi atau membuat pengusaha lokal kesulitan menjalankan usaha,” ujarnya.
Persoalan batas wilayah di Kaltim membutuhkan kemauan politik yang kuat dari kepala daerah.
Rudy memyebut keterlambatan penyelesaian sengketa bisa memicu gesekan sosial. Identitas warga yang terbagi, perbedaan pelayanan, hingga isu diskriminasi bisa menjadi bara dalam sekam.
“Tugas kita berbangsa dan bernegara ini adalah untuk melindungi seluruh dan segenap tumpah darah Indonesia,” katanya.
Rudy optimistis, dengan komunikasi yang baik dan mengedepankan asas keadilan, penyelesaian bisa dicapai dalam waktu dekat.
“Kita tidak ingin persoalan ini diwariskan terus-menerus ke generasi berikutnya,” ujarnya. (*)

Tinggalkan Balasan