EXPRESI.co, TELUK PANDAN – Persoalan tapal batas Kampung Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, antara Pemerintah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur kembali mencuat. Dalam mediasi yang difasilitasi Gubernur Kalimantan Timur, Senin (11/8/2025), berbagai suara warga dan tokoh masyarakat mengungkapkan harapan, keresahan, hingga ancaman persoalan hukum yang membayangi.

Lasakka, salah satu warga yang bermukim di Kampung Sidrap sejak 1990, menegaskan berbagai kebutuhan mendesak warga bukan hanya soal semenisasi jalan, bahkan hingga penyediaan lahan pemakaman. “Lebih dari 6 ribu jiwa di sini. Kalau ada yang meninggal, kami masih menumpang di pemakaman Bontang,” ujarnya.

Fasilitas pendidikan juga menjadi masalah. Jarak sekolah di wilayah Kutim mencapai 15 kilometer, sementara warga yang ingin sekolah di Bontang kerap terkendala administrasi karena status kependudukan.

“Walaupun dibilang gratis, tetap saja kami membayar. Sesuai aturan, saya warga Kutim, tapi kami ikut saja apa yang diputuskan pemerintah,” kata Lasakka.

Sementata, salah satu warga Sidrap yang ber-KTP Bontang, Yohanes mengaku sekitar 5 ribu jiwa di Sidrap dilayani pendidikan, kesehatan, dan sosial oleh Bontang.

Sejarah tapal batas Sidrap juga pernah memanas. Yohanes mengingat, saat Andi Sofyan Hasdam menjabat Wali Kota Bontang, sempat dibentuk Desa Pulau Pinang yang diarahkan masuk Bontang. Namun rencana itu batal.

Kemudian, Ketua RT 24 Guntung, Edi Setiawan menyoroti persoalan pekerjaan. Banyak warga Sidrap bekerja di perusahaan Bontang seperti Pupuk Kaltim, tetapi harus memiliki KTP Bontang sesuai peraturan wali kota. “Intinya urusan perut. Itu dasar kami bertahan sampai hari ini. Semoga Sidrap masuk Bontang,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Martadinata, Sutrisno, mengakui pelayanan kesehatan selama ini tetap diberikan bagi warga ber-KTP Kutim. “Ini pelayanan pemerintah. Semua warga Kutim dijamin kesehatannya. Tapi memang wilayah Kutim luas, termasuk Dusun Batang Bengkal, Jelmu, dan Pinang,” ucapnya.

Ia membantah klaim adanya 3 ribu jiwa ber-KTP Bontang yang tinggal di Sidrap. “Tidak benar secara keseluruhan. Ada yang tinggal berpencar, bahkan sampai Desa Suka Rahmat ada yang punya KTP Bontang,” tegasnya.

Sutrisno juga mengingatkan potensi pelanggaran hukum jika Pemkot Bontang mengakomodir pembuatan KTP untuk warga Kutim.

Isu tapal batas ini juga sarat aroma politik. Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, disebut pernah berkampanye akan memperjuangkan Sidrap masuk Bontang. Pernyataan seperti ini disinyalir datang setiap momentum politik lima tahunan yang diwarnai janji pembangunan yang belum terwujud.

Kepala Desa Teluk Pandan, Andi Herman Fadli mengingatkan potensi efek domino. Dia bilang, jika Sidrap bergabung dalam wilayah Kota Bontang ada kemungkinan beberapa daerah yang berbatasan juga akan meminta hao serupa.

“Kalau Sidrap masuk Bontang, bisa saja Suka Rahmat dan Teluk Pandan ikut-ikutan. Kami pernah mengalami hal seperti ini, jangan sampai terulang,” ujarnya.

Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud yang hadir memediasi menegaskan, tidak boleh ada diskriminasi layanan publik meski terjadi sengketa tapal batas. “Mau masuk kemana pun, tidak masalah. Yang penting dokumen, pelayanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pekerjaan, dan jaminan sosial tetap jalan,” katanya.

Namun, ia menegaskan Pemprov hanya bertugas memediasi. Karena mediasi tidak menghasilian kesepakatan, maka persoalan ini berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Ini batasnya sampai 13 Agustua, karena tidak ada kesepakatan maka persoalan ini akan beroanjut ke MK,” tutup Rudy. (*/Fn)