EXPRESI.co, JAKARTA — Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk CALS, KIKA, PSHK Indonesia, dan SPK, bersatu menanggapi dengan tegas revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Mereka mengecam langkah Pemerintah dan DPR-RI yang tengah membahas revisi undang-undang tersebut secara tertutup, dinilai bertentangan dengan semangat reformasi serta prinsip-prinsip dasar negara hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Revisi yang dilakukan secara diam-diam oleh Panitia Kerja Komisi I DPR-RI dan Pemerintah ini mendapat kritik keras karena berisiko mengembalikan TNI ke dalam ranah politik dan ekonom, kondisi yang mengingatkan pada masa Orde Baru. Revisi UU TNI ini dianggap sebagai langkah mundur yang akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat praktik impunitas anggota TNI. Apabila dibiarkan, dampaknya bisa sangat serius bagi masa depan demokrasi Indonesia.

“Revisi ini jelas berpotensi melemahkan negara hukum, meningkatkan pelanggaran HAM, dan memicu ketegangan sosial yang lebih besar,” ujar perwakilan CALS dalam pernyataan resmi mereka.

Ancaman terhadap Komitmen Internasional Indonesia

Salah satu kekhawatiran utama dari para aktivis dan organisasi HAM adalah bertentangannya revisi ini dengan kewajiban Indonesia terhadap hukum internasional. Draf revisi UU TNI dianggap bertentangan dengan berbagai instrumen global, seperti rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang telah diratifikasi Indonesia.

Instrumen-instrumen ini mengharuskan negara menjamin akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil.

“Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa aparat militer tidak kebal hukum dan tunduk pada prinsip akuntabilitas,” ungkap Direktur PSHK Indonesia.

Impunitas dan Dampaknya bagi Kebebasan Sipil

Salah satu dampak paling meresahkan dari revisi ini adalah potensi melanggengkan impunitas bagi anggota TNI. Dengan adanya impunitas, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh militer tidak akan diproses secara hukum.

Kondisi ini berisiko memicu ketakutan di kalangan masyarakat untuk menyuarakan pendapat atau kritik, terutama mengenai kebijakan pemerintah dan tindakan TNI yang melanggar hak asasi manusia.

“Impunitas adalah ancaman besar bagi kebebasan sipil di Indonesia. Ini akan menciptakan iklim di mana hak-hak dasar rakyat semakin terpinggirkan,” tegas perwakilan dari KIKA.

Melemahnya Profesionalisme Militer dan Pembukaan Kembali Dwifungsi TNI

Poin lain yang disorot dalam penolakan ini adalah potensi kembali terjadinya dwifungsi TNI, fenomena di mana anggota militer aktif menduduki jabatan sipil. Hal ini dianggap sebagai ancaman terhadap profesionalisme TNI, yang seharusnya fokus pada tugas pertahanan negara tanpa terlibat dalam politik praktis.

Revisi UU TNI juga membuka celah untuk memperpanjang masa pensiun perwira aktif dan memperluas jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer, yang berpotensi merusak supremasi sipil serta mendorong politisasi dalam struktur keamanan negara.

“Perluasan peran TNI dalam kehidupan sipil hanya akan menggerus independensi militer dan merusak sendi-sendi demokrasi kita,” tambah SPK.

Kebebasan Akademik di Ambang Bahaya

Tak hanya berdampak pada aspek politik dan hukum, revisi ini juga dipandang sebagai ancaman terhadap kebebasan akademik di Indonesia.

Penguatan impunitas bisa berujung pada serangan sistematis terhadap intelektual dan insan akademik, dengan pembatasan terhadap buku-buku dan diskusi mengenai isu-isu sensitif seperti Papua dan kebijakan keamanan nasional.

“Serangan terhadap kebebasan akademik, seperti pembubaran diskusi dan penarikan buku, bisa semakin meningkat jika revisi ini diteruskan. Kami khawatir situasi ini akan semakin memprihatinkan,” kata seorang perwakilan dari PSHK Indonesia.

Proses Pembahasan yang Tertutup

Selain substansi yang dianggap bermasalah, cara Pemerintah dan DPR-RI membahas revisi ini juga mendapat kritik tajam. Rapat yang digelar secara tertutup di hotel dinilai melanggar prinsip transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pembuatan undang-undang.

Langkah ini, menurut para pengkritik, menunjukkan ketidakseriusan untuk mendengarkan masukan dari masyarakat sipil.

Seruan untuk Menjaga Demokrasi dan HAM

Sebagai respons terhadap ancaman ini, CALS, KIKA, PSHK Indonesia, dan SPK mendesak penghentian pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup. Mereka menuntut agar DPR-RI dan Pemerintah menanggalkan rencana revisi ini demi menghormati konstitusi dan komitmen terhadap hak asasi manusia.

“Penting bagi masyarakat sipil untuk bersatu, mendesak agar revisi ini dihentikan dan memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada pemajuan demokrasi, perlindungan HAM, dan kebebasan akademik,” tegas perwakilan dari CALS.

Dengan seruan ini, mereka berharap DPR-RI dan Pemerintah lebih memperhatikan suara rakyat dan menghindari langkah-langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip-prinsip dasar negara hukum. (*)