Sistem tenaga honorer di lembaga pemerintah, dari tingkat daerah hingga pusat, sudah sering dikritik karena melanggengkan sistem pengupahan tak layak. Berulangkali di media sosial maupun pemberitaan, khalayak mendengar cerita nasib merana dirasakan tenaga honorer, misalnya guru di kawasan pedesaan, yang hanya mendapat gaji hanya sebesar Rp150-200 ribu per bulan. Selain jauh dari upah minimum manapun, gaji tersebut seringkali dibayarkan dengan sistem rapel, sehingga tenaga honorer makin sering terhimpit secara ekonomi.
Pemerintah pun mengakui bahwa kebiasaan merekrut tenaga honorer tidak manusiawi, serta melanggar aturan yang berlaku, merujuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Alhasil mengikuti kesepakatan antara DPR dan pemerintah sejak tahun lalu, rencana menghapus sepenuhnya tradisi merekrut tenaga honorer dari semua tingkatan lembaga pemerintah bakal dijalankan mulai 2023.
Kebijakan ini diumumkan langsung Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, lewat keterangan tertulis pada Senin, 17 Januari 2022, seperti dilansir CNN Indonesia. “Terkait tenaga honorer, melalui PP [peraturan pemerintah], diberikan kesempatan untuk diselesaikan sampai dengan tahun 2023,” kata Tjahjo.
Kementerian dan lembaga pemerintah diminta Tjahjo untuk mulai tertib hanya merekrut dua jenis Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sementara bila jenis pekerjaan yang butuh ditangani bersifat dasar, seperti mengelola kebersihan atau keamanan kantor, maka rekrutmennya tidak dengan mencari ASN, tapi membayar perusahaan alih daya (outsourcing).
Mengingat maraknya praktik rekrutmen honorer berasal dari bidang pendidikan dan kesehatan, Tjahjo menegaskan bahwa kebijakan penerimaan pegawai PPPK akan diprioritaskan untuk dua sektor tersebut. “Pemerintah mengutamakan rekrutmen PPPK pada 2022 untuk memenuhi kebutuhan ASN di sektor pendidikan dan kesehatan,” tandasnya.
Bagi pembaca yang bertanya-tanya, apa bedanya PPPK dengan PNS atau honorer, begini penjelasan sederhananya, mengikuti definisi dari undang-undang:
PPPK
PPPK tidak mendapat tunjangan pensiun seperti PNS, tapi mendapat gaji sesuai UU, mendapat hak cuti, tunjangan selain gaji pokok, perlindungan kerja, serta kesempatan pengembangan kompetensi. PPPK direkrut lewat proses akuntabel dan teregulasi, dengan sistem kontrak berjangka paling pendek setahun, paling lama 30 tahun. Panjang pendeknya kontrak bergantung pada penilaian kinerja. PPPK tidak bisa diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. Jika berniat meningkatkan status jadi PNS, seorang pegawai PPPK harus mengikuti semua proses seleksi CPNS sesuai UU.
PNS
PNS adalah pegawai negeri yang lazimnya kita kenal karena dianggap profesi “idaman mertua”. Tapi sebetulnya, yang membedakan PNS dari PPPK hanyalah kepastian tunjangan pensiun (yang akan diubah dari bulanan jadi diberikan dalam satu waktu), serta sistem kepegawaian yang rigid sehingga peluang diberhentikan cukup minim kecuali perilaku individunya keterlaluan. Toleransi terhadap perilaku buruk PNS itupun sudah semakin dipersempit, lewat terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 94/2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Tenaga Honorer
Tenaga honorer diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang setara dalam pemerintahan. Tenaga honorer bertugas menjalankan tugas tertentu pada instansi pemerintah dengan bayaran per bulan (itu sebabnya disebut juga sebagai honorer).Status hukum tenaga honorer bersumber pada PP Nomor 56 Tahun 2012, yang tidak akan diperbarui lagi oleh pemerintah. Detail kriteria rekrutmen dan penggajian dalam PP itu masih terlampau sumir. Dampaknya sehingga selama ini pengangkatan honorer dilakukan seringkali tanpa izin pemerintah pusat, dan sekadar menyesuaikan ketersediaan anggaran dari APBN atau APBD. Besaran gaji juga mengikuti instansi atau pejabat pembina yang merekrut mereka, sesuai ketersediaan dana di satuan kerja.Rekrutmen tenaga honorer paling marak terjadi di tingkat pemerintah daerah, seperti kabupaten/kota. Karena seringkali rekrutmen dilakukan reaksioner, anggaran untuk tenaga honorer kadang diambil dari pengadaan barang dan jasa, bukan anggaran SDM. Alhasil, ini penyebab banyak tenaga honorer dibayar mengenaskan. Tenaga honorer tidak mendapat berbagai hak yang diperoleh pegawai PPPK, seperti cuti dan pengembangan kompetensi.
Lalu, jika status honorer selama ini lebih banyak merugikan pelakunya, kenapa masih ada saja rekrutmennya di berbagai daerah? Untuk kasus instansi pendidikan, sebabnya sederhana: sebaran guru PNS tidak merata di semua daerah. Imbasnya, ada kabupaten yang beberapa kecamatannya butuh guru dalam waktu cepat, yang sayangnya sejauh ini baru bisa dipenuhi dengan skema honorer.
“Hampir 40 persen status guru di sekolah negeri sebagai guru honorer. Bayangkan kalau tak ada guru honorer yang mengajar, keberadaan mereka sangat menentukan keberlanjutan pendidikan di sekolah negeri, negara betul-betul berutang kepada guru honorer ini,” ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, saat diwawancarai Republika.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat, guru PNS yang sempat dikirimkan ke daerah lain lazim meminta mutasi setelah bekerja 5-6 tahun. Itu membuat sebaran guru kembali tidak imbang. “Distribusi guru kita sangat tidak merata, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa,” ujar Suharmen, selaku Deputi Bidang Sistem Informasi Kepegawaian BKN, seperti dikutip Medcom.id.
Total guru ASN di Indonesia sebanyak 4.149.135. Jika dibedah lagi, sebanyak 4.400.993 orang di antaranya merupakan Guru berstatus PNS, sedangkan 49.859 lainnya guru PPPK, sementara tenaga honorer tidak tercatat secara resmi oleh negara. Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di sektor pelayanan kesehatan, sehingga marak nakes berstatus honorer.
Adapun merujuk data Kemenpan RB, jumlah PNS Indonesia mencapai 4.286.918 orang, dan sekitar 70 persen berada di Pemerintah Daerah (Pemda). Masalahnya, sebanyak 1,6 juta orang bekerja di sektor administratif, membuat posisi pelaksana atau pegawai di lapangan atau pelayanan masih belum sesuai rasio kebutuhan. “Sepertiga jumlah total ASN nasional yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan organisasi,” kata Menpan RB Tjahjo Kumolo.
Sebagai solusi bagi tenaga honorer yang terlanjur bekerja bertahun-tahun, dan statusnya akan dihapus per 2023, pemerintah mendorong mereka direkrut dengan skema PPPK. Problemnya, menurut Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), rekrutmen sepanjang 2021 di berbagai daerah belum membuka seluas-luasnya kesempatan bagi guru honorer mengajukan diri ke posisi PPPK.
“Pemda ternyata hanya mengajukan 506.252 formasi pada 2021, itu pun yang lulus 173.329 guru saja,” kata Salim.
Konsep PPPK berulangkali didemo ribuan guru honorer, termasuk dengan menggeruduk Istana Negara. Mereka menolak mengikuti tes dan minta diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil.
Tinggalkan Balasan