Polemik Pajak Persalinan, Akademisi Kaltim: Tidak Masuk Akal

Redaksi

EXPRESI.co, BONTANG – Wacana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) di sejumlah sektor menuai polemik. Paling mendapat sorotan tentu persalinan, pendidikan dan sembako. Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi ikut memberikan komentar.

“Kebijakan pemerintah ini memang harus dipahami lebih dahulu,” ujar Aji Sofyan di Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim), Senin (14/6/2021).

1. Wacana pajak persalinan tak masuk akal

Agenda itu sendiri tertuang dalam revisi UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Tahapan saat ini diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR. Sehingga wajar bila, Aji Sofyan menegaskan demikian.

Pasalnya hingga saat ini dia belum dapat salinan mengenai rencana perubahan PPN di sejumlah sektor. Meski demikian, terlepas dari kabar tersebut jika memang pemerintah hendak menambah bea dalam urusan persalinan, ada baiknya dikaji lebih dahulu.

“Kesimpulan saya, saat persalinan dikenakan pajak itu sudah kada (gak) masuk akal,” katanya.

2. Tiga aspek yang harus diperhatikan soal polemik pajak PPN di berbagai sektor

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul ini pun menjelaskan alasan di balik pernyataannya tersebut. Setidaknya ada tiga aspek yang mesti diperhatikan. Khusus persalinan misalnya, selain harus jelas mengenai narasi pajaknya, juga harus diperhatikan soal tujuan penyematan PPN untuk persalinan. Apakah untuk membatasi laju pertambahan penduduk atau ada ihwal lain.

Motifnya harus jelas. Beberapa negara Eropa justru memberikan bea gratis bagi penduduknya yang melahirkan.

“Rasanya memang tidak tepat, jangan juga dihantam rata. Bagaimana dengan keluarga yang sederhana atau miskin. Sudah dihitung pemerintah belum besaran pajaknya. Syukur jika di rumah sakit, kalau hanya bidan bagaimana?” tuturnya.

3. Pemerintah harus cekatan dalam pendataan warga

Selanjutnya, kata dia, cara penarikan pajak. Jika di rumah sakit bisa jadi ada pendataan. Tapi cara pemerintah tahu itu benar-benar miskin dari mana? Kemudian jika hanya bidan yang membantu melahirkan, bagaimana juga dalam menarik pajaknya.

Nah, bila ada yang menjawab, lewat akta kelahiran. Bisa saja demikian, namun ihwal menarik pajak lewat akta tak mudah.

“Ini memang teknis yang menghabiskan energi pemerintah. Ketiga adalah besaran persentase pajak. Antara kaya dan miskin ini akan samar statusnya bila masuk rumah sakit. Jadi memang harus dikaji lebih dulu,” sebutnya.

4. Sebagian pabrik otomotif di Indonesia hanya perakitan

Dia juga menambahkan, untuk PPN barang mewah ini sebenarnya tak bisa digratiskan. Namun pemerintah punya pertimbangan lain dengan memberikan kompensasi kepada para investor agar perusahaan dapat berkembang pesat. Sejalan dengan peningkatan produksi dan terciptanya lapangan kerja.

“Pertanyaannya, apakah perusahaannya ada di Indonesia. Kebanyakan hanya pabrik perakitan saja,” pungkasnya. (*)

Editor: Bagoez Ankara

Print Friendly, PDF & Email

Also Read

Tags

Ads - Before Footer