EXPRESI.co – Pada Juni 2020, seorang perempuan yang sedang mengendarai minibus bersama kekasihnya mengalami kecelakaan fatal. Mobil yang ia tumpangi terguling ditabrak pickup, yang sengaja adu kebo menabrak kap mesin mereka. Ketika perempuan itu berhasil keluar dari pintu mobil yang hancur, kengeriannya belum berakhir.

Seorang lelaki 59 tahun mengejar perempuan malang itu, kemudian menusuknya berulangkali menggunakan pisau dapur. Perempuan itu sedang hamil delapan bulan. Akibat luka tusukan di kepala, dada, serta lengannya, ia tewas seketika bersama bayi dalam kandungannya.

Insiden maut itu terjadi di Provinsi Buriram, kawasan timur laut Thailand. Lelaki yang menabrak mobil dan membunuh penumpangnya tertangkap polisi tak lama setelah kejadian.

Kepada penyidik, lelaki paruh baya itu mengaku terpaksa berbuat nekat, karena perempuan yang hamil itu memerasnya. Jika dia tidak memberinya uang, perempuan itu mengancam siap bercerita ke orang-orang kalau mereka punya hubungan gelap yang menghasilkan anak.

Sosok pembunuh itu adalah bisku kepala di salah satu biara Buddha terbesar Buriram.

Kasus pembunuhan yang dilakukan sang biksu menghiasi pemberitaan media massa Thailand sepanjang tahun itu. Masyarakat terkejut, karena sang pemuka agama bukan cuma terlibat perselingkuhan, namun juga tega melakukan pembunuhan berencana.

Namun keterkejutan itu tidak berlangsung lama. Kasus-kasus kriminalitas melibatkan biksu di Thailand ternyata cukup rutin diberitakan. Pakar menyebut rentetan kasus yang mencoreng citra para biksu—setidaknya 10 tahun terakhir—mulai mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi Buddhisme di Thailand.

Fenomena sosial terkait perilaku ugal-ugalan biksu memiliki dampak serius bagi bangsa Thailand. Di negara itu, Buddha merupakan agama resmi kerajaan, dianut sekitar 93 persen populasi. Biksu, sebagai praktisi Buddhisme yang melepas hasrat duniawi, lazimnya amat dihormati. Ada lebih dari 300 ribu biksu yang tercatat resmi oleh pemerintah Thailand. Mayoritas rutin mendapat donasi masyarakat, karena mereka dianggap tokoh panutan berkat sikap welas asih dan kebersahajaannya mengikuti ajaran Siddharta Gautama. Menjadi biksu seharusnya bermakna mengemban tugas sebagai kasta paling terhormat di Thailand.

Sayangnya, karena makin banyak kasus-kasus kriminal melibatkan biksu, tingkat penghormatan warga perlahan turun. Nyaris setiap bulan, selalu ada media Thailand yang mengabarkan kasus biksu tersandung upaya pencucian uang, korupsi dana jemaaat, berkendara saat mabuk, terlibat peredaran narkoba, hingga melakukan pembunuhan berencana. Sebagian pelakunya bahkan biksu terhormat atau pengelola biara.

“Meski kesannya sekarang lebih sering diberitakan, tapi fenomena biksu tersandung kasus kriminalitas bukan hal baru di Thailand,” ujar Katewadee Kulabkaew, peneliti isu Buddhisme dan politik Thailand dari Institute of Southeast Asian Studies, saat diwawancarai VICE World News. “Problem perilaku sebagian biksu ini sudah menjadi tantangan bagi Thai Sangha [organisasi Buddhisme terbesar Thailand-red] selama puluhan tahun terakhir.”

Kritik terhadap lemahnya organisasi mendisiplinkan para biksu bukan cuma disuarakan warga. Sebagian biksu di Thailand secara terbuka menuntut adanya hukuman lebih keras, serta mengaku malu melihat perilaku koleganya yang ugal-ugalan—terutama yang terkait korupsi dana umat hingga adanya laporan pelecehan terhadap anak yang tinggal di biara.

Beberapa kali operasi “pembersihan” biksu nakal yang dilakukan kepolisian tidak juga membuat jumlah kasus menurun. Awal Maret 2022, sosok Luang Pu Tuanchai, biksu yang cukup tenar di Thailand karena dianggap umat memiliki kesaktian, ditahan polisi karena kepergok mabuk saat menyetir dan melanggar lampu merah, serta terbukti menyimpan narkoba. Sedangkan pada Januari lalu, biksu lain dipecat dari kepengurusan Thai Sangha karena menjual sabu-sabu ke anak muda yang tinggal dekat biara.

“Perilaku buruk sebagian biksu itu sebetulnya cerminan problem dalam masyarakat Thailand… Sebagian orang menganggap yang buruk cuma oknum. Tapi kalau jumlahnya banyak, kita harus mulai bertanya ‘jangan-jangan ada faktor lain yang membuat banyak biksu berani melanggar hukum dan ajaran agama’?’”

Kasus kriminalitas menyangkut biksu bukan cuma melibatkan mereka yang tidak punya jabatan di organisasi Thai Sangha. Biksu tanpa jabatan, atau posisinya rendahan, biasanya tersangkut kasus narkoba atau perilaku liar sejenis. Sementara beberapa para petinggi Thai Sangha lebih sering terjerat kasus kejahatan kerah putih, terutama korupsi.

Godaan materi ini jadi yang paling membahayakan bagi para biksu di Thailand, meskipun mereka seharusnya sudah bersumpah melepas hasrat duniawi. Lantaran status Buddhisme sebagai agama mayoritas di Negeri Gajah Putih, total donasi warga yang diterima seluruh biara tiap tahun rata-rata mencapai US$2,8 miliar. Donasi sebesar itu jarang sekali diikuti oleh pembukuan yang rapi, serta laporan keuangan secara transparan.

Biksu seharusnya tidak boleh memiliki harta, namun sudah jadi rahasia umum bila beberapa petinggi biara di kota besar Thailand memiliki aset serta bermewah-mewahan, dengan dalih itu sekadar fasilitas dari umat untuk memudahkan proses dakwah.

Kekayaan pribadi biksu seringkali baru terungkap setelah mereka meninggal. Pada Februari 2022, seorang biksu yang meninggal ketahuan menyimpan tumpukan uang senilai 10,6 juta Baht (setara Rp4,5 miliar), setelah salah satu kerabat membereskan kamar mendiang biksu berusia 81 tahun tersebut.

Sebagian biksu bahkan tidak malu menampilkan gaya hidup bermewah-mewahan. Contohnya Wirapol Sukphol, biksu yang pernah viral di YouTube pada 2013, karena pamer naik jet pribadi, menenteng tas desainer mewah, serta memamerkan tumpukan uang tunai. Video itu memicu kecaman masyarakat Thailand, berujung pada pemeriksaan polisi. Sukhpol belakangan terbukti melakukan pencucian uang dan terlibat pelecehan seksual.

Bagi pengamat, masalah perilaku sebagian biksu yang menjauh dari kesederhanaan ala Buddhisme merupakan dampak dari konsumerisme yang merajalela di Thailand. Mulai muncul ideologi “teologi kemakmuran” di beberapa biara, membuat umat yang berharap bisa sukses secara instan dengan cara menyumbang banyak uang kepada para biksu. Adanya donasi dalam jumlah besar itu otomatis membuat sebagian biksu tergiur menumpuk harta. Selain itu, adanya medsos membuat masyarakat lebih mudah menyorot biksu yang tindakannya jauh dari nilai ideal agama.

“Perilaku buruk sebagian biksu itu sebetulnya cerminan problem dalam masyarakat Thailand,” ujar Somboon Chungprampree, Sekretaris Jaringan Komunikasi Buddhis Internasional, saat dihubungi VICE World News. “Sebagian orang menganggap yang perilakunya buruk hanya oknum. Tapi kalau jumlahnya banyak, kita harus mulai bertanya ‘jangan-jangan ada faktor lain yang membuat banyak biksu berani melanggar hukum dan ajaran agama’?”

Para biksu di Thailand merayakan upacara Makha Bucha di Kuil Wat Dhammakaya, pada 16 Februari 2022. Foto oleh Jack TAYLOR/AFP

Selain maraknya konsumerisme serta perubahan sosial yang dialami masyarakat Thailand di masa kini, pengamat menilai tanggung jawab terbesar atas merebaknya kasus ‘biksu liar’ ada pada Thai Sangha. Organisasi itu dianggap tidak serius mendisiplinkan para anggotanya.

Sebagian petinggi Sangha dituding melindungi rekan mereka yang tersandung korupsi, dengan tidak memecatnya dari organisasi. Mereka yang sudah dihukum pun ada yang tidak otomatis tercabut statusnya sebagai biksu.

“Jujur saja, masalah ini seharusnya bisa diredam kalau pengurus Thai Sangha kompeten menjalankan tugasnya,” ujar Kulabkaew. “Banyak biksu senior yang bahkan tidak berani memperingatkan sebagian biksu muda yang sudah sering membuat masalah.”

Karena statusnya sebagai agama mayoritas, pemerintah Thailand selama ini tidak berani mengintervensi cara kerja organisasi Buddha. Padahal, syarat untuk menjadi biksu di Thailand sangat longgar, sehingga siapapun berhak mendaku diri sebagai biksu tanpa melalui proses pendidikan memadai. Semua otoritas pengaturan biksu ada pada Thai Sangha, dan organisasi itu makin terlihat seperti macan ompong untuk menertibkan anggotanya.

“Ajaran utama Buddhisme adalah mencapai pencerahan sehingga manusia tidak teringkat dengan hasrat kebendaan… Masyarakat Thailand harus mulai belajar, bahwa mereka yang mengenakan jubah biksu belum tentu orang yang layak dihormati.”

Saking longgarnya syarat menjadi biksu, Kulabkaew mengakui sebagian orang yang menjadi biksu full-time sebetulnya cuma ingin mendapat tempat tinggal serta fasilitas makan rutin. Ada banyak biksu di Thailand yang bahkan tidak tertarik mengajarkan nilai-nilai Buddhisme. “Sangat mungkin bila sebagian biksu itu sebenarnya punya catatan kriminal serius sebelum bergabung dengan biara dan tidak memiliki keinginan bertobat,” tudingnya.

Status istimewa agama Buddha juga membuat biara seperti lembaga superpower. Polisi tidak bisa memeriksa latar belakang calon biksu. Celah itu sebelumnya sudah pernah dipakai tersangka kriminal kabur dari kejaran hukum. Supaya tidak masuk penjara, mereka sengaja jadi biksu dan menghapus identitas lama.

Contohnya terjadi di Provinsi Suphan Buri, pada 2019. Seorang biksu berusia 40 tahun yang terpilih menjadi kepala biara, ternyata adalah buronan yang sudah kabur dari polisi selama 15 tahun. Dia pernah terlibat kasus pembunuhan dan penghilangan barang bukti. Ada juga kasus polisi yang teledor menabrak pengendara motor sampai tewas, alih-alih ditangkap, justru dibiarkan bergabung ke biara menjadi biksu hanya beberapa hari setelah kejadian.

Sayangnya, kepercayaan masyarakat soal jalan hidup menjadi biksu membuat celah hukum ini seakan dimaklumi. Bagi umat Buddha di Thailand, ketika seseorang terjun menjadi biksu, maka segala kesalahan masa lalunya otomatis terhapus.

“Tidak heran, bila politikus yang tersangkut dugaan kasus korupsi banyak yang tiba-tiba masuk biara untuk menjadi biksu,” ujar Chungprampree. Sebagian biara bahkan secara terbuka menawarkan jasa pelatihan menjadi biksu, agar orang bisa “disucikan” dari segala kesalahan masa lalu.

Menurut Kulabkaew, tidak ada cara lain untuk memperbaiki citra Buddhisme di Thailand kecuali pemerintah berani mereformasi Thai Sangha. Harus ada pelatihan yang lebih ketat, serta pengawasan latar belakang calon biksu. Jangan sampai sembarang orang bisa mengemban status sebagai biksu, tanpa perilaku yang mencerminkan ajaran agama.

“Tentu saja, reformasi itu juga harus mencakup pewajiban dari pemerintah agar setiap organisasi Buddha di negara ini memiliki sistem laporan keuangan hasil donasi warga yang lebih transparan,” tandasnya.

Keberhasilan reformasi itu akan sangat menentukan bagi masa depan ajaran Buddha di Thailand. Sebab, nilai-nilai Buddhisme sampai sekarang masih dianggap sebagai salah satu prinsip utama kebudayaan Thailand. Jika masyarakat terus-terusan menyorot negatif instutis biara, maka identitas nasional Thailand sekaligus terancam. “Bisa dibayangkan kacaunya masyarakat bila nilai-nilai Buddhisme dianggap gagal mencegah perilaku korup,” kata Kulabkaew.

Selain intervensi pemerintah, Chungprampree, berharap masyarakat lebih serius mendalami lagi ajaran Buddha yang sebenarnya. Jangan sampai mereka menganggap biksu sebagai sosok yang otomatis tanpa cela.

“Ajaran utama Buddhisme adalah mencapai pencerahan sehingga manusia tidak teringkat dengan hasrat kebendaan,” ujarnya. “Masyarakat Thailand harus mulai belajar, bahwa mereka yang mengenakan jubah biksu belum tentu orang yang layak dihormati.”

Follow Koh Ewe di Twitter dan Instagram.