EXPRESI.co, SAMARINDA – Suara seorang anak kecil, mungkin tak terdengar jauh. Tapi saat jeritnya menyiratkan luka, dewan pun tak tinggal diam. Di tengah keresahan masyarakat atas dugaan kekerasan terhadap seorang balita di sebuah yayasan di Kota Samarinda, DPRD setempat bergerak cepat. Komisi IV DPRD Samarinda menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), menghadirkan berbagai pemangku kepentingan demi mengurai benang kusut penanganan kasus ini yang dianggap terlalu lamban dan minim koordinasi.
Langkah itu menjadi jawaban awal atas kekecewaan publik. Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Novan Syahronnie, berdiri tegas di tengah forum. Ia menegaskan bahwa persoalan kekerasan terhadap anak bukan sekadar isu hukum, melainkan krisis kemanusiaan yang perlu ditangani bersama lintas sektor.
“Kita tidak ingin ini jadi cerita yang berulang. Pemerintah kota, pemerintah provinsi, semua harus bersatu langkah. Ini soal anak-anak kita,” ujar Novan dengan nada serius.
Dalam forum yang berlangsung tegang namun penuh harap itu, Novan menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap protokol perlindungan anak yang berlaku selama ini. Menurutnya, kejadian ini mencerminkan adanya celah dalam sistem — celah yang harus segera ditutup.
“Apakah prosedur kita sudah cukup kuat? Sudah cukup cepat? Ini yang akan kami telaah. Karena kalau sistemnya lemah, maka perlindungan anak hanya jadi slogan belaka,” tambahnya.
Namun di balik semua itu, perhatian utama Komisi IV kini tertuju pada satu hal: pemulihan korban. Anak yang menjadi korban kekerasan tersebut disebut masih dalam kondisi yang membutuhkan perhatian khusus — baik fisik maupun psikologis.
“Prioritas kami adalah memastikan anak ini mendapatkan pemulihan menyeluruh. Ini soal masa depan seorang anak. Luka yang dibiarkan bisa menjadi trauma seumur hidup,” kata Novan dengan wajah prihatin.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian dalam penanganan medis, mengingat kasus ini masih dalam ranah penyidikan. Meski demikian, Novan menegaskan bahwa proses pengobatan lanjutan tidak akan mengganggu validitas bukti hukum yang sudah dikumpulkan sebelumnya.
“Pihak kepolisian sudah memastikan bahwa visum pada tanggal 13 Mei tetap menjadi dasar utama pembuktian. Jadi, pengobatan selanjutnya tidak akan mengaburkan fakta-fakta hukum,” jelasnya.
Komisi IV memastikan bahwa pengawalan terhadap kasus ini tidak akan berhenti di ruang rapat. Mereka akan mendorong keterlibatan aktif dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lembaga perlindungan anak, hingga komunitas sosial, demi memastikan bahwa pemulihan korban berlangsung optimal dan tragedi serupa tak lagi mengancam anak-anak Samarinda di masa depan. (Ina/Adv)

Tinggalkan Balasan