EXPRESI.co – Warga Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), berinisial AS (34) dipepet empat orang pengendara motor saat melakukan perjalanan ke Lombok Timur, pada Minggu 10 April lalu. Bermodal senjata tajam, keempat pelaku berinisial P, OWP, WH, dan HO melakukan pembegalan dengan meminta paksa motor korban. AS menolak pasrah, ia melakukan perlawanan meski kalah jumlah, menggunakan pisau kecil yang dibawanya. Pertahanan diri ini tak diduga para begal, menyebabkan P dan OWP meninggal, sementara WH dan HO menyelamatkan diri.
Jenazah kedua korban ditemukan warga pada Senin (11/4/2021) dini hari bersama sebuah motor Honda Scoopy, satu buah sabit, dan satu buah pisau. Keluarga P dan OW, dua begal yang tewas, dilaporkan melaporkan kasus kematian kerabat mereka ke polisi.
Kasus tersebut segera ditangani Satreskrim Polres Lombok Tengah. Aparat berhasil menemukan jejak AS, menetapkannya sebagai tersangka.
“Penyelidikan kasus ini ditingkatkan menjadi sidik, setelah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi,” kata Wakapolres Lombok Tengah Ketut Taminan, Selasa (12/4), dilansir dari Antaranews . “Korban begal (AS) yang dikenakan pasal 338 KUHP menghilangkan nyawa seseorang, maupun pasal 351 KUHP, ayat 3 melakukan tindakan menghilangkan nyawa seseorang.”
Dua begal yang masih, WH dan HO, juga ditetapkan sebagai tersangka kasus pembegalan yang dilakukan. Ketut menyebut kasus-kasus kini telah membuka persidangan. Dua begal yang masih hidup diminta polisi menjadi saksi untuk kasus-kasus yang menjerat AS.
Netizen segera menyorot status negatif AS sebagai tersangka, mengingat dia hanya berusaha membela diri. Ketut mengatakan tugas polisi hanya menetapkan penetapan perkara, perkara nanti diputus bebas akan dibuktikan di pengadilan. Pasal 49 KUHP tentang pembelaan diri luar biasa disebut Ketut memang memiliki kemungkinan AS, namun itu adalah berwenang pengadilan.
Pada Rabu (13/4/2021) kemarin, warga berkumpul di kantor Polres Lombok Tengah menyuarakan protes atas status tersangka AS. Kelompok yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Peduli Sosial Kabupaten Lombok tersebut meminta polisi memberikan keputusan bebas kepada AS sebagai korban begal yang membela diri.
“Harus dikaji ulang kasus ini. Aksi kami lakukan kali ini di atas dasar keresahan oleh warga Loteng. Dan penting dilakukan konsolidasi untuk mendukung supremasi hukum. Kami meminta agar Amak Santi segera dibebaskan,” ucap Tajir Sahroni, salah satu anggota aliansi pada saat orasi, dilansir dari Kumparan .
Tajir menyebut jika AS ditahan, maka akan membuat warga takut untuk melawan kejahatan di masa mendatang.
Setelah ramai di medsos dan memicu unjuk rasa, pada Kamis 14 April, AS dibebaskan dari tersingkir, meski belum lepas dari status tersangka. “Dibebaskan setelah ada surat penangguhan dari keluarga dengan mengetahui pemerintah desa,” kata Sayum, selaku Kapolsek Raya Timur, dilansir dari CNN Indonesia .
Namun, Sayum tidak membeberkan apa proses hukum selanjutnya yang akan dijalani AS.
Kasus pembelaan diri korban yang menyebabkan kematian pelaku kriminal sudah sering terjadi di berbagai wilayah. Pada 2019 di Kabupaten Malang, Jawa Timur, M (35) bersama tiga kawannya membegal dua remaja SMA yang merupakan sepasang kekasih, ZA (17) dan V (17). Kurang puas sama hasil begal, M mengatakan akan melakukan hubungan intim dengan V sebagai.
Permintaan ini tidak diterima ZA dengan baik. “Saya emosi. Mereka ini minta pacar saya diajak hubungan intim tiga menit. Akhirnya saya melawan. Saya pisau dan menusukkannya ke bagian dada,” kata ZA di ruang penyidikan Satreskrim Polres Malang, seperti dikutip Suara Jatim . Tusukan ZA menembus paru-paru M sedalam 6,5-8 sentimeter, menyebabkan Misnan tewas di tempat.
ZA yang menyerahkan diri ke polisi kemudian ditetapkan sebagai tersangka, meski tidak dilakukan penahanan. Sama seperti kasus AS, Kapolres Malang Yade Setiawan Ujung mengatakan meski membela diri, ZA dijerat KUHP Pasal 351 dan 338 tentang alasan yang menyebabkan orang meninggal.
Sikap polisi pada kasus semacam ini pada dasarnya sama: korban yang membela diri ditetapkan sebagai tersangka, nanti biar vonis pengadilan yang melemparnya apabila terbukti membela diri.
Seperti yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat pada 2018. MIB (19) yang membela diri setelah dibegal AS (18) menyebabkan sang pelaku meninggal. Status tersangka yang akhirnya disematkan pada MIB dicopot setelah persidangan menyebutkan pembelaan diri MIB diatur pada Pasal 49 KUHP.
Pasal 49 ayat 2 ini berbunyi: “pembelaan dipaksa melampaui batas, yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
Ahli pidana Universitas Islam Indonesia Muzakkir mengatakan pasal tersebut dibuat sebagai upaya negara melindungi warganya dari kejahatan. Melalui pasal ini, negara menjamin perlindungan kepada warga untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman. Pembelaan diri tersebut, seperti membunuh begal, boleh dilakukan dengan syarat harus memenuhi syarat yang memaksa korban untuk bertindak.
Analoginya, kata Muzakkir, jika pemilik mangga memasang alat setrum di pohonnya sehingga membuat pencuri meninggal dunia, dia akan dikenai hukuman karena menghilangkan nyawa orang tanpa diserang.
“Kalau dia duel ketika harta kekayaan dirampok, duel gitu yang membuat pelakunya mati, itu boleh. Itu artinya melakukan pembelaan diri. Kalau yang terjadi seperti itu dia bisa dibebaskan,” kata Muzakkir kepada Tirto .
Tinggalkan Balasan