EXPRESI.co, SAMARINDA – Di balik ambisi besar Pemerintah Kota Samarinda untuk mengubah wajah kawasan kumuh, tersimpan kegelisahan yang belum banyak terdengar. Warga yang seharusnya menjadi subjek utama dalam program ini justru merasa terpinggirkan. Dan bagi Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar, inilah titik rawan yang dapat membuat proyek mulia ini berhenti di tengah jalan.

Rencana penataan kawasan kumuh memang sudah lama bergulir. Namun, menurut Deni, proyek yang digadang-gadang akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat ini cenderung berjalan dengan pendekatan teknokratis yang terlalu kaku, lebih banyak berbicara dalam angka dan peta, namun kurang menyentuh realitas sosial masyarakat.

“Program ini bukan sekadar soal pembangunan fisik. Kita bicara tentang manusia, tentang rumah, tentang hidup yang sudah puluhan tahun terbentuk,” ujarnya dengan nada prihatin.

Deni menilai bahwa sampai saat ini, masih banyak warga di wilayah sasaran yang hidup dalam ketidakpastian. Minimnya informasi, lemahnya komunikasi, dan absennya ruang dialog membuat mereka merasa cemas terhadap masa depan tempat tinggalnya.

“Kalau mereka hanya diberi tahu bahwa akan ada penataan, tapi tidak tahu nasib rumahnya, relokasi ke mana, atau kompensasinya seperti apa, itu namanya tidak manusiawi,” tegas Deni.

Kekhawatiran itu diperkuat dengan fakta bahwa Pemkot terlihat lebih fokus pada pencapaian teknis. Sosialisasi kepada warga dianggap datang belakangan, seolah sekadar formalitas. Padahal, menurut Deni, yang paling mendasar dari program semacam ini adalah membangun kepercayaan.

“Proyek jalan dulu, warga menyusul. Ini bukan sekadar soal target luas wilayah, tapi bagaimana membuat warga merasa dilibatkan dan dihargai,” tambahnya.

Program penataan kawasan kumuh ini sejatinya bukan hal baru. Sudah tercantum dalam rencana strategis pemerintah kota sejak lama. Namun hingga pertengahan 2025, progresnya dinilai masih berkutat di atas kertas. Pelaksanaan fisik belum menyentuh realitas di lapangan.

“Tahap pelaksanaan belum jelas. Masih konsep. Padahal tahun sudah berjalan lebih dari separuh,” ungkapnya.

Lebih dari itu, cakupan penataan tahun ini pun dinilai terlalu kecil: hanya 7 hektare dari total 75 hektare kawasan kumuh yang telah teridentifikasi. Bahkan ruang gerak pemerintah terbatas pada radius 10 meter dari jalan utama menyisakan pertanyaan besar soal efektivitas dan komitmen jangka panjang.

“Kalau target kecil saja tidak ditopang oleh komunikasi yang kuat dengan masyarakat, maka jangan harap bisa selesai,” pungkas Deni. (Adv)