Krisis Kudeta-Covid-19 Dorong Myanmar ke Jurang Kemiskinan

EXPRESI.co, BONTANG – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan dampak dari kudeta dan Covid-19 di Myanmar memaksa hampir setengah penduduk negara itu, terjebak ke dalam jurang kemiskinan pada 2022.

Pada Kamis (29/4), analisis dari Program Pembangunan PBB (UNDP) memperingatkan jika situasi keamanan dan ekonomi tidak kunjung stabil, sebanyak 25 juta orang dapat hidup dalam kemiskinan pada 2022. Angka tersebut, sekitar 48 persen dari jumlah penduduk di negara yang tengah dilanda kudeta itu.

“Kami menghadapi tragedi yang sedang berlangsung,” ucap Administrator UNDP, Achim Steiner, seperti dikutip CNN, Jumat (30/4).

“Kami telah mematahkan rantai pasokan, (mengganggu) pergerakan orang dan pergerakan barang dan jasa, sistem perbankan pada dasarnya ditangguhkan, pengiriman uang tidak dapat dijangkau, pembayaran keamanan sosial yang akan tersedia untuk rumah tangga yang lebih miskin tidak dibayarkan. Ini hanyalah sebagian dari dampak langsung,” kata Steiner.

Krisis politik yang berlarut-larut, lanjur Steiner jelas akan memperburuk keadaan di Myanmar.

Meningkatnya biaya makanan, kehilangan pendapatan dan upah yang signifikan, runtuhnya layanan dasar seperti perbankan dan perawatan kesehatan, jaring pengaman sosial yang tidak memadai kemungkinan besar akan mendorong jutaan orang yang sudah rentan berada di bawah garis kemiskinan sebesar US$1,10 per hari atau sekitar Rp15.380.

Menurut UNDP, tingkat kemiskinan itu belum terlihat di Myanmar sejak 2005, saat negara itu diperintah oleh rezim militer sebelumnya.

Menurut laporan tersebut, selama 15 tahun terakhir, Myanmar mampu mengurangi separuh tingkat kemiskinannya. Pada 2005, dari 48,2 persen menjadi 24,8 persen di 2017.

Namun presentasi itu masih menunjukkan bahwa Myanmar merupakan negara termiskin di Asia. Sepertiga penduduknya diperkirakan hidup dengan pendapatan yang rendah atau tak menentu. Hal tersebut merupakan salah satu guncangan ekonomi yang dapat menyebabkan kemiskinan.

Pandemi virus corona menambah guncangan itu. Pada tahun 2020 akhir, sebanyak 83 persen rumah tangga di Myanmar melaporkan pendapatannya berkurang sekitar setengahnya lantaran pandemi, demikian menurut laporan itu.

Guncangan kedua muncul pada 1 Februari 2021, ketika panglima angkatan bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing menggulingkan kekuasaan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis.

Pasukan keamanan secara brutal menekan protes dengan tindakan keras yang mematikan dan sistematis. Polisi dan tentara menembak mati orang di jalan-jalan dan secara sewenang-wenang menahan orang yang menolak kudeta.

Hingga kini, menurut laporan Lembaga Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) 759 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta, dan lebih dari 4.500 ditangkap.

Berdasarkan laporan UNDP, krisis ekonomi yang semakin parah dari pandemi dan kudeta yang dilakukan militer menghapus kemajuan yang telah dibuat Myanmar dalam mengurangi kemiskinan.

Dampak pandemi saja, lanjut UNDP akan meningkatkan tingkat kemiskinan Myanmar dari 24,8 persen menjadi 36,1 persen. Jika kudeta terus berlanjut tingkat kemiskinan akan melonjak hingga 48, 2 persen.

Untuk mencapai kesimpulannya, UNDP menggunakan berbagai sumber, termasuk data yang dipublikasikan dari Bank Dunia, Brookings Institution, laporan dari badan-badan PBB lainnya, laporan media dan survei rumah tangga dari Myanmar.

Karena data real-time sulit diperoleh, UNDP mengatakan jika berbagai krisis Covid-19, hak asasi manusia, demokratisasi, dan keamanan meluas lebih jauh, perkiraannya mungkin lebih buruk dari yang diperkirakan – terutama untuk kelompok rentan seperti etnis minoritas dan pengungsi internal. (*)

Editor : Bagoez Ankara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles