EXPRESI.co, BONTANG – Sebanyak 2.507 kepala keluarga (KK) jadi korban karena petaka banjir di Kabupaten Berau Kalimantan Timur (Kaltim). Luapan genangan air dalam jumlah besar ini merendam 15 kampung di empat kecamatan. Mulai dari Kecamatan Segah, Kelay, Teluk Bayur dan Sambaliung. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim pun menuding musibah ini juga bertalian dengan aktivitas ekstraksi emas hitam alias batu bara.
“Kami menduga praktik penambangan di hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah ini menjadi biang kerok pemicu banjir. Bencana ini adalah yang terbesar (di Berau) dalam kurun waktu 20 tahun terakhir,” ujar Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim saat dikonfirmasi, Selasa (18/5/2021).
1. Tanggul jebol milik perusahaan tambang semakin memperparah banjir di Kabupaten Berau
Lebih lanjut dia menerangkan, banjir yang ada di Berau memang tak tak langsung disebabkan oleh kegiatan pertambangan. Namun luapan air dari Sungai Kelay yang bersisian dengan aktivitas tambang terbuka (open pit mining) semakin memperparah kondisi banjir tersebut.
Itu terjadi saat tanggul dari korporasi terkait ini jebol kemudian membawa luapan air ke kawasan Kampung Bena Baru di Kecamatan Sambaliung. Jarak tepi lokasi tambang terbuka dengan sungai ini kurang lebih 400 meter. Padahal dalam aturan Menteri Lingkungan Hidup No 4/2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk (Usaha) Kegiatan Penambangan Terbuka Batu Bara, jarak minimal 500 meter.
Tak hanya itu, Perda No 1/2016 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kaltim menyebut jarak minimal aktivitas tambang dengan permukiman adalah 1 kilometer.
“Itu artinya perusahaan tersebut sudah melanggar. Bena Baru ini merupakan salah satu kampung yang alami dampak terparah. Akses menuju daerah ini sempat terputus karena jalan Kampung Bena Baru terendam,” ucap Rupang, sapaan karibnya.
2. Ada 94 konsesi tambang batu bara yang tersebar di Kabupaten Berau
Dari data yang dihimpun Jatam Kaltim setidaknya di Berau ada 94 konsesi tambang batu bara. Terdiri dari 93 izin usaha pertambangan atau IUP dan 1 PKP2B yang berarti perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Sebanyak 20 konsesi berada di sisi Sungai Segah dan Sungai Kelay.
Dari jumlah tersebut, 7 konsesi lainnya berada di hulu Sungai Kelay. Dari puluhan izin tersebut, 16 perusahaan telah menambang. Daya rusaknya jangan ditanya, lebih-lebih saat keselurunan perusahaan ini aktif mengeruk batu bara. Selain itu, sepanjang 2020-2021, terdapat 11 lokasi tambang ilegal yang beroperasi di Berau, semua terkonsentrasi di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Tanjung Redeb, Teluk Bayur dan Gunung Tabur.
“Bukan hanya tambang batu bara, alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit skala besar di wilayah hulu sungai juga menjadi penyebab banjir bandang di Berau,” tandasnya.
3. Jatam Kaltim mendesak pemerintah audit lingkungan terhadap semua perusahaan tambang di Berau
Dia menambahkan, bencana ini menjadi ironi. Pasalnya, dialami warga saat merayakan hari kemenangan, Idul Fitri setelah empat pekan melaksanakan ibadah puasa. Dan makin parah memasuki hari kedua. Ini sudah masuk hari keempat dan luapan airnya belum juga berhenti. Ketinggian mencapai 1,5 hingga 2 meter.
Pemerintah setempat berdalih kondisi ini disebabkan oleh banjir tahunan yang kerap dialami warga. Mereka tampak bersembunyi di balik narasi fenomena alam yang normal dan terjadi sepanjang tahun, tetapi abai dengan sejumlah fakta penting mengenai ihwal kerusakan bentang alam.
Utamanya alih fungsi lahan menjadi konsesi tambang batu bara di kawasan hulu, serta sepanjang daerah aliran sungai. Maka dari itu Jatam Kaltim pun mendesak segera lakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap semua perusahaan tambang yang beroperasi di Berau.
Selama proses itu, ia meminta pemerintah membekukan semua aktivitas pertambangan dan penegakkan hukum secara tegas pada perusahaan tambang bermasalah.
“Terakhir pulihkan seluruh kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas tambang batu bara di Berau,” pungkasnya. (*)
Sumber: IDN Times
Editor: Bagoez Ankara
Tinggalkan Balasan