EXPRESI.co, BONTANG – Sejumlah ilmuwan India mengatakan pemerintah mengabaikan peringatan dari mereka mengenai bahaya virus corona (Covid-19) mutasi yang lebih ganas, B.1.617.

Terlepas dari peringatan itu, empat ilmuwan tergabung dalam Konsorsium Genetika SARS-CoV-2 (INSACOG) mengatakan pemerintah India tidak berusaha memberlakukan pembatasan skala besar untuk menghentikan laju penularan virus, meski sudah dipaparkan tentang bahaya virus corona mutasi itu.

Peringatan tentang varian baru diterbitkan INSACOG pada awal Maret. Menurut seorang ilmuwan yang mengetahui masalah itu, hasil penelitian kemudian disampaikan kepada pejabat tinggi pemerintah yang melapor ke Perdana Menteri Narendra Modi.

Akan tetapi, pemerintahan Modi belum memberi tanggapan mengenai laporan itu.

INSACOG dibentuk sebagai forum penasehat ilmiah oleh pemerintah India khusus untuk mendeteksi varian genom virus corona yang berpotensi mengancam kesehatan masyarakat, pada Desember 2020 lalu. Forum itu menggandeng 10 laboratorium nasional yang diandalkan dalam mempelajari varian virus corona.

Direktur Institute of Life Sciences sekaligus anggota INSACOG, Ajay Parida, mengatakan pihaknya mendeteksi virus B.1.617 pada awal Februari lalu.

Forum ilmuwan itu melapor temuannya ke Pusat Pengendalian Penyakit Nasional (NCDC) Kementerian Kesehatan India sebelum 10 Maret. INSACOG memperingatkan infeksi dapat meningkat dengan cepat di beberapa negara bagian akibat penyebaran virus itu.

Pada saat itu, INSACOG mulai menyusun keterangan pers untuk Kementerian Kesehatan. Isinya menguraikan temuan yakni virus varian baru India memiliki dua mutasi signifikan pada bagian virus yang menempel pada sel manusia, dan saat dilacak menjangkiti 15 persen hingga 20 persen penduduk di Maharashtra, salah satu negara bagian India yang paling parah terdampak pandemi corona.

Dalam keterangan pers itu, para ilmuwan menuliskan mutasi dari varian virus India, yakni E484Q dan L452R, patut diwaspadai.

Sebab, virus itu dapat bermutasi dengan lebih mudah memasuki sel manusia dan melawan respons kekebalan seseorang terhadapnya.

Pemerintah India baru mempublikasikan temuan itu dua pekan kemudian, yakni pada 24 Maret, tetapi tidak memasukkan kata-kata supaya virus itu patut diwaspadai. Pemerintah saat itu menyatakan untuk mencegah penyebaran varian baru virus corona itu hanya dengan dua cara, yakni meningkatkan jumlah pemeriksaan dan karantina.

Ketua Dewan Penasehat INSACOG, Shaheed Jameel, mengatakan prihatin dengan sikap pemerintah yang tidak mempertimbangkan bukti ilmiah saat menetapkan kebijakan.

“Kebijakan harus didasarkan pada bukti dan bukan sebaliknya. Saya khawatir pembuatan kebijakan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Namun, saya tahu dimana batas saya harus berhenti. Sebagai ilmuwan, kami memberikan bukti, pembuatan kebijakan adalah tugas pemerintah,” kata Jameel, seperti dilansir Reuters, Senin (3/5).

Pemerintah India tak mengambil langkah apa-apa untuk mencegah penyebaran varian baru. Sehingga orang yang terinfeksi meningkat empat kali lipat pada 1 April dan dari bulan-bulan sebelumnya.

Modi dan puluhan politisi lainnya justru sibuk menggelar kampanye pemilihan kepala daerah sepanjang Maret hingga April.

Desakan supaya pemerintah segera bertindak juga disampaikan oleh Satuan Tugas Nasional Covid-19 India. Satgas itu dibentuk pada akhir April lalu yang beranggotakan 21 pakar kesehatan.

Tugas mereka adalah memberikan panduan dan teknis kepada menteri kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan. Satgas itu dipimpin oleh V.K. Paul yang merupakan salah satu penasihat Modi dalam urusan pandemi virus corona.

Menurut seorang ilmuwan yang hadir dalam rapat Satgas Covid-19 India pada 15 April, saat itu seluruh anggota sepakat bahwa ada bahaya mengancam dan pemerintah perlu memberlakukan lockdown. Menurut dia, Paul hadir dalam rapat itu.

Paul tidak menjawab permintaan konfirmasi Reuters tentang isi rapat itu. (*)

Editor : Bagoez Ankara