EXPRESI.co, BONTANG – Pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi terhimpit dan keterbatasan selama pandemi, upaya-upaya mempertahankan dan membangkitkan sektor ini terus dilakukan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui kondisi industri pariwisata saat ini lebih berat dari 2020.
Padahal industri perhotelan dan restoran menjadi salah satu sektor yang paling gencar menerapkan protokol kesehatan.
“Kalau protokol kesehatan, kita di industri hotel dan restoran termasuk yang paling berkomitmen.Di awal Maret 2020 saja, kita sudah menyusun standar protokol kesehatan,” ujar Maulana Yusran di Dialog Publik yang diselenggarakan KPCPEN dan ditayangkan di FMB9ID_IKP, Rabu (23/6).
“Perubahannya sampai tiga kali menyesuaikan Surat Edaran Menteri Kesehatan dan standar WHO. Kami justru mendukung PPKM Mikro yang dijalankan saat ini,” ungkapnya.
Salah satu yang terkena dampak pandemi dialami PT. Hotel Indonesia Natour (Persero) atau dikenal dengan sebutan HIN. BUMN yang bergerak dibidang jasa perhotelan tersebut harus merasakan turunnya tingkat hunian kamar hotel pada tahun lalu hingga 67 persen ketimbang 2019.
“Tahun lalu tingkat hunian kita hanya sekitar 27 persen sepanjang tahun. Apalagi pendapatan kita 60- 70 persen dari Bali, dampak pandemi ini sangat luar biasa bagi industri perhotelan,” terang Christine Hutabarat, Direktur Pengembangan Bisnis PT. HIN.
Meski berat, pelaku industri pariwisata mulai beradaptasi dengan tuntutan keadaan dan mempersiapkan diri demi menghadapi era pasca pandemi melalui penguatan standar kebersihan, kesehatan, keamanan dan kelestarian lingkungan. Sertifikasi ini dikenal dengan nama CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety, Environment Sustainability).
CHSE diyakini Christie bukan sekadar jargon, namun sudah jadi identitas dalam melakukan pelayanan di industri pariwisata. Sehingga nantinya bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat, sekaligus mengedukasi protokol kesehatan seperti yang dianjurkan pemerintah.
Selain upaya-upaya yang dilakukan melalui beradaptasi dengan keadaan, stimulus dari Kemenparekraf sejak 2020 berupa Hibah Pariwisata maupun bantuan lainnya diakui sangat membantu industri sektor pariwisata untuk bertahan.
“Stimulus dari pemerintah kami gunakan untuk beberapa hal, selain membantu membiayai operasional kami di masa permintaan yang rendah, juga membantu meningkatkan kualitas dari implementasi CHSE dan pelatihan tenaga kerja di HIN,” terang Christie.
Kondisi yang terjadi juga dirasakan pelaku bisnis kreatif yang jadi bagian dari ekosistem yang ada di lokasi pariwisata seperti di Bali. Cokorda Istri Julyana Dewi, pebisnis kerajinan perak dan tas kulit Cyn dari Gianyar, Bali menyampaikan,
“Dampak pandemi ini sangat berimbas. Tapi kami tetap beradaptasi agar teman-teman pelaku industri kreatif di lokasi pariwisata bisa menyesuaikan karyanya dengan keadaan seperti sekarang ini,” ucapnya.
Kerajinan perak yang dulunya dipandang perhiasan saja, diaplikasikan Juliyana agar mudah diterima konsumen di masa pandemi lewat mengkombinasikannya dengan tas kulit.
Juliyana mengakui bahwa stimulus dan upaya yang dilakukan pemerintah turut mendukungnya bertahan di tengah situasi sulit.
“Kami banyak tertolong oleh pemerintah yang sering mengadakan pelatihan pemasaran produk secara digital. Kita tentu harus terus beradaptasi dengan keadaan pandemi seperti saat ini. Terutama untuk membangkitkan kembali semangat pengrajin perak untuk melewati pandemi inisecara bersama,” pungkas Juliyana. (*)
Editor: Bagoez Ankara
Tinggalkan Balasan